Mengenai Saya

Foto saya
ska bercanda, tidak suka klo di bohongi apalagi sampai di khianati.... terlihat serem n kaku padahal orangnya mengasyikkan dam menyenagkan... jangan melihat orang dari wajah atow tampilannya saja, lihatlah juga dari sikap, perhatian dan perilakunya...

Selasa, 08 Maret 2011

KABINET INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL

INDONESIA MASA DEMOKRASI LIBERAL (1950-1959)


A.  KABINET MASA DEMOKRASI LIBERAL
a.     KABINET NATSIR (6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Merupakan kabinet koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi.
Dipimpin Oleh : Muhammad Natsir
 Program        :
1.       Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
2.      Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
3.       Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
4.      Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
5.       Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.
*     Hasil               :
Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
-     Upaya memperjuangkan masalah Irian Barat dengan Belanda mengalami jalan buntu (kegagalan).
-          Timbul masalah keamanan dalam negeri yaitu terjadi pemberontakan hampir di seluruh wilayah Indonesia, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan RMS.
*   Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 
Adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disetujui parlemen sehingga Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.


b.     KABINET SUKIMAN (27 April 1951 – 3 April 1952)
Merupakan kabinet koalisi antara Masyumi dan PNI.
*     Dipimpin Oleh:  Sukiman Wiryosanjoyo
*     Program        :
1.       Menjamin keamanan dan ketentraman
2.       Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
3.      Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4.      Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
Hasil               :
Tidak terlalu berarti sebab programnya melanjtkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman
Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
·       Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatikan kepentingan Amerika.
Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.
·       Adanya krisis moral yang ditandai dengan munculnya korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pemerintahan dan kegemaran akan barang-barang mewah.
·        Masalah Irian barat belum juga teratasi.
·       Hubungan Sukiman dengan militer kurang baik tampak dengan kurang tegasnya tindakan pemerintah menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan.
Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 
Muncul pertentangan dari Masyumi dan PNI atas tindakan Sukiman sehingga mereka menarik dukungannya pada kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman dan terpaksa Sukiman harus mengembalikan mandatnya kepada presiden.

c.      KABINET WILOPO (3 April 1952 – 3 Juni 1953)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya.
Dipimpin Oleh : Mr. Wilopo
*     Program           :
1.         Program dalam negeri      : Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD), meningkatkan kemakmuran rakyat, meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan.
2.      Program luar negeri : Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
*     Hasil                  : -
*     Kendala/ Masalah yang dihadapi            :
ü     Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.
ü     Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunan hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.
ü     Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.
ü     Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya. Peristiwa ini diperkuat dengan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri yang berhubungan dengan kebijakan KSAD A.H Nasution yang ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno sehingga ia mengirim petisi mengenai penggantian KSAD kepada menteri pertahanan yang dikirim ke seksi pertahanan parlemen sehingga menimbulkan perdebatan dalam parlemen. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam memulihkan keamanana di Sulawesi Selatan.
Keadaan ini menyebabkan muncul demonstrasi di berbagai daerah menuntut dibubarkannya parlemen. Sementara itu TNI-AD yang dipimpin Nasution menghadap presiden dan menyarankan agar parlemen dibubarkan. Tetapi saran tersebut ditolak.
Muncullah mosi tidak percaya dan menuntut diadakan reformasi dan reorganisasi angkatan perang dan mengecam kebijakan KSAD.
Inti peristiwa ini adalah gerakan sejumlah perwira angkatan darat guna menekan Sukarno agar membubarkan kabinet.
ü     Munculnya peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh.
Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
*     Berakhirnya kekuasaan kabinet   : 
Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden.





d.    KABINET ALI SASTROAMIJOYO I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
Kabinet ini merupakan koalisi antara PNI dan NU.
Dipimpin Oleh : Mr. Ali Sastroamijoyo
Program        :
1.         Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu.
2.         Pembebasan Irian Barat secepatnya.
3.         Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB.
4.         Penyelesaian Pertikaian politik

Hasil               :
·           Persiapan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955.
·           Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955.
Kendala/ Masalah yang dihadapi            :
ü  Menghadapi masalah keamanan di daerah yang belum juga dapat terselesaikan, seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh.
ü  Terjadi peristiwa 27 Juni 1955 suatu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD. Masalah TNI –AD yang merupakan kelanjutan dari Peristiwa 17 Oktober 1952. Bambang Sugeng sebagai Kepala Staf AD mengajukan permohonan berhenti dan disetujui oleh kabinet. Sebagai gantinya menteri pertahanan menunjuk Kolonel Bambang Utoyo tetapi panglima AD menolak pemimpin baru tersebut karena proses pengangkatannya dianggap tidak menghiraukan norma-norma yang berlaku di lingkungan TNI-AD. Bahkan ketika terjadi upacara pelantikan pada 27 Juni 1955 tidak seorangpun panglima tinggi yang hadir meskipun mereka berada di Jakarta. Wakil KSAD-pun menolak melakukan serah terima dengan KSAD baru.
ü  Keadaan ekonomi yang semakin memburuk, maraknya korupsi, dan inflasi yang menunjukkan gejala membahayakan.
ü  Memudarnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah.
ü  Munculnya konflik antara PNI dan NU yang menyebabkkan, NU memutuskan untuk menarik kembali menteri-mentrinya pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya.
*     Berakhirnya kekuasaan kabinet   : 
Nu menarik dukungan dan menterinya dari kabinet sehingga keretakan dalam kabinetnya inilah yang memaksa Ali harus mengembalikan mandatnya pada presiden.






e.     KABINET BURHANUDDIN HARAHAP (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
Dipimpin Oleh     : Burhanuddin Harahap
*     Program              :
1.        Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
2.       Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
3.       Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
4.       Perjuangan pengembalian Irian Barat
5.       Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.
*     Hasil                     :
ü Penyelenggaraan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.
ü Perjuangan Diplomasi Menyelesaikan masalah Irian Barat dengan pembubaran Uni Indonesia-Belanda.
ü Pemberantasan korupsi dengan menangkap para pejabat tinggi yang dilakukan oleh polisi militer.
ü Terbinanya hubungan antara Angkatan Darat dengan Kabinet Burhanuddin.
ü Menyelesaikan masalah peristiwa 27 Juni 1955 dengan mengangkat Kolonel AH Nasution sebagai Staf Angkatan Darat pada 28 Oktober 1955.
*     Kendala/ Masalah yang dihadapi   :
Banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan dianggap menimbulkan ketidaktenangan.
*     Berakhirnya kekuasaan kabinet      : 
Dengan berakhirnya pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap selesai. Pemilu tidak menghasilkan dukungan yang cukup terhadap kabinet sehingga kabinetpun jatuh. Akan dibentuk kabinet baru yang harus bertanggungjawab pada parlemen yang baru pula.


f.     KABINET ALI SASTROAMIJOYO II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)
Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
*     Dipimpin Oleh : Ali Sastroamijoyo
*     Program           :
Program kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut.
1.         Perjuangan pengembalian Irian Barat
2.        Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
3.        Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
4.        Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
5.         Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
Selain itu program pokoknya adalah,
·      Pembatalan KMB,
·      Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif,
·      Melaksanakan keputusan KAA.
*     Hasil                  :
Mendapat dukungan penuh dari presiden dan dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment, hasilnya adalah Pembatalan seluruh perjanjian KMB.


Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
ü Berkobarnya semangat anti Cina di masyarakat.
ü Muncul pergolakan/kekacauan di daerah yang semakin menguat dan mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng (AH) di Sumatera Tengah, Dewan Gajah (MS) di Sumatera Utara, Dewan Garuda (B) di Sumatra Selatan, Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni (VS) di Sulawesi Utara.
ü Memuncaknya krisis di berbagai daerah karena pemerintah pusat dianggap mengabaikan pembangunan di daerahnya.
ü Pembatalan KMB oleh presiden menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya pada orang Cina karena memang merekalah yang kuat ekonominya. Muncullah peraturan yang dapat melindungi pengusaha nasional.
ü Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI. Masyumi menghendaki agar Ali Sastroamijoyo menyerahkan mandatnya sesuai tuntutan daerah, sedangkan PNI berpendapat bahwa mengembalikan mandat berarti meninggalkan asas demokrasi dan parlementer.
*     Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 
Mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu I ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.


g.      KABINET DJUANDA ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)
Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik.
*     Dipimpin Oleh : Ir. Juanda
*     Program           :
Programnya disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu :
·        Membentuk Dewan Nasional
·        Normalisasi keadaan Republik Indonesia
·        Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
·        Perjuangan pengembalian Irian Jaya
·        Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan
Semua itu dilakukan untuk menghadapi pergolakan yang terjadi di daerah, perjuangan pengembalian Irian Barat, menghadapi masalah ekonomi serta keuangan yang sangat buruk.
Hasil                  :
ü  Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia di mana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
ü  Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin.
ü  Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI.
ü  Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.
*



  Kendala/ Masalah yang dihadapi      :
§    Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
§    Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
§    Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.
*     Berakhirnya kekuasaan kabinet         : 
Berakhir saat presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru sejarah RI yaitu Demokrasi Terpimpin.


B. KEADAAN EKONOMI INDONESIA MASA LIBERAL

Meskipun Indonesia telah merdeka tetapi Kondisi Ekonomi Indonesia masih sangat buruk. Upaya untuk mengubah stuktur ekonomi kolonial ke ekonomi nasional yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia berjalan tersendat-sendat.
Faktor yang menyebabkan keadaan ekonomi tersendat adalah sebagai berikut.
1.         Setelah pengakuan kedaulatan dari Belanda pada tanggal 27 Desember 1949, bangsa Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan seperti yang telah ditetapkan dalam KMB. Beban tersebut berupa hutang luar negeri sebesar 1,5 Triliun rupiah dan utang dalam negeri sejumlah 2,8 Triliun rupiah.
2.        Defisit yang harus ditanggung oleh Pemerintah pada waktu itu sebesar 5,1 Miliar.
3.        Indonesia hanya mengandalkan satu jenis ekspor terutama hasil bumi yaitu pertanian dan perkebunan sehingga apabila permintaan ekspor dari sektor itu berkurang akan memukul perekonomian Indonesia.
4.        Politik keuangan Pemerintah Indonesia tidak di buat di Indonesia melainkan dirancang oleh Belanda.
5.        Pemerintah Belanda tidak mewarisi nilai-nilai yang cukup untuk mengubah sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional.
6.        Belum memiliki pengalaman untuk menata ekonomi secara baik, belum memiliki tenaga ahli dan dana yang diperlukan secara memadai.
7.        Situasi keamanan dalam negeri yang tidak menguntungkan berhubung banyaknya pemberontakan dan gerakan sparatisisme di berbagai daerah di wilayah Indonesia.
8.       Tidak stabilnya situasi politik dalam negeri mengakibatkan pengeluaran pemerintah untuk operasi-operasi keamanan semakin meningkat.
9.        Kabinet terlalu sering berganti menyebabakan program-program kabinet yang telah direncanakan tidak dapat dilaksanakan, sementara program baru mulai dirancang.
10.    Angka pertumbuhan jumlah penduduk yang besar.

Masalah jangka pendek yang harus dihadapi pemerintah adalah :
1.         Mengurangi jumlah uang yang beredar
2.        Mengatasi Kenaikan biaya hidup.
Sementara masalah jangka panjang yang harus dihadapi adalah :
1.                                 Pertambahan penduduk dan tingkat kesejahteraan penduduk yang rendah.


C.   KEBIJAKAN PEMERINTAH UNTUK MENGATASI MASALAH EKONOMI MASA LIBERAL

Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun 1959 belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai berikut.
1.        Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.

2.     Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
§  Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
§  Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
§  Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
§  Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar.
Kegagalan program ini disebabkan karena :
§  Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
§  Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
§  Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
§  Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
§  Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
§  Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.

Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.

3.     Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.
Tujuannya    adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.
Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.

4.     Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I).
Tujuan dari program ini adalah
·                Untuk memajukan pengusaha pribumi.
·                Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
·                Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
·                Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.

Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba,
·                Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
·                Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional
·                Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.

Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
·                Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
·                Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
·                Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.

5.     Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet Burhanudin Harahap dikirim delegasi ke Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh Anak Agung Gede Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi :
1.       Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
2.      Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
3.      Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.

Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal 13 Februari1956, Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda secara sepihak.
Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden Sukarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB.
Dampaknya :
Banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.



6.     Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
1.       Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
2.      Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
3.      Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

7.     Musyawarah Nasional Pembangunan
Masa kabinet Juanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musayawaraah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakan Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang. Tetapi tetap saja rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik karena :
§   Adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas.
§   Terjadi ketegangan politik yang tak dapat diredakan.
§   Timbul pemberontakan PRRI/Permesta.
§   Membutuhkan biaya besar untuk menumpas pemberontakan PRRI/ Permesta sehingga meningkatkan defisit Indonesia.
§   Memuncaknya ketegangan politik Indonesia- Belanda menyangkut masalah Irian Barat mencapai konfrontasi bersenjata.


















KONSTELASI POLITIK PADA MASA PERCOBAAN DEMOKRASI
(1950-1957)
Tsabit Azinar Ahmad

A. Pendahuluan
Masa-masa awal kemerdekaan merupakan salah satu masa yang labil dalam berbagai hal. Dalam bidang politik, tahun-tahun pertama kemerdekaan merupakan masa peralihan ketika terbentuk pemerintahan Indonesia yang baru dan tekanan kekuatan luar, yaitu Belanda dan perpolitikan global pasca perang dunia kedua. Dalam bidang sosial, perubahan sosial akibat kemerdekaan terjadi. Dalam bidang ekonomi kondisi ekonomi mengalami ketidakstabilan. Setelah Indonesia menyatakan diri sebagai wilayah sendiri dengan dileburkannya Republik Indonesia Serikat, Indonesia memasuki satu masa baru yakni masa ketika Indonesia mencari format baru dalam sistem pemerintahan dan politik. Masa pencarian ini disebut pula dengan masa percobaan demokrasi.
Masa percobaan demokrasi merupakan satu tahapan ketika Indonesia masih mencari format pemerintahan dan sistem politik yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Masa ini berlangsung pada 1950-1957 ketika pada masa itu sistem pemerintahan bersifat liberal ketika sistem pemerintahan menggunakan sistem parlementer. Masa antara tahun 1950-1957 merupakan satu periode yang berbeda dengan situasi politik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Periode Demokrasi Parlementer merupakan masa paling dinamis saat mania bangsa Indonesia mulai bereksprimen dengan demokrasi. Sistem parlementer multi partai dengan kekuatan berimbang memicu persaingan antar berbagai faksi politik untuk saling menjatuhkan. Hal itu terbaca melalui polemik terbuka dan keras antar surat kabar di Jakarta masa itu.
Dalam makalah ini akan dipaparkan berkaitan dengan bagaimaman kondisi perpolitikan pada masa percobaan demokrasi serta bagaimana dampak yang dihasilkannya.
2
B. Kondisi Politik Indonesia Sebelum Masa Percobaan Demokrasi
Kondisi perpolitikan di Indonesia senantiasa mengalami pasang surut dan dinamika. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, kondisi politik di Indonesia masih sangat labil. Hal ini dikarenakan masih banyaknya aktivitas yang dilakukan baik oleh Indonesia sendiri atau oleh pihak luar berkaitan dengan status pascakemerdekaan. Pihak Indonesia sendiri masih sibuk dengan segala urusan yang berkaitan dengan pemindahan kekuasaan serta upaya-upaya untuk segera berbenah diri guna membangun negara. Dari pihak luar, setelah menangnya blok sekutu atas blok poros, ada keinginan dari pihak pemenang perang dunia untuk mengawal Indonesia yang baru lahir. Akan tetapi hal ini menjadi satu kesempatan bagi pihak Belanda untuk kembali lagi ke Indonesia. Akibatnya, masih terdapat campur tangan dari pihak luar terhadap Indonesia. Selain itu, kebijakan-kebijakan dalam bidang politik pada masa ini masih belum dapat dikatakan bersifat benar- benar lepas dari pengaruh Belanda, aplagi ditambah adanya agresi militer I dan II serta perjanjian-perjanjian yang telah mengubah sistem konstitusi dan struktur perpolitikan nasional. Praktis pada masa ini Indonesia masih belum menemukan “jati dirinya”.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia cenderung bersifat kompromistis walaupun beberapa langkah radikal dilakukan. Puncak dari sifat kompromis Indonesia adalah dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus 1949 dan selesai pada 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh Republik Indonesia,Bijee nkomst voor Federaal Overleg(BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Dari KMB ini dihasilkan beberapa kesepakatan yaitu (1) didirikannya negara Republik Indonesia Serikat, (2) penyerahan kedaulatan (baca “pemulihan kedaulatan”) kepada Republik Indonesia Serikat, serta (3) didirikannya Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Adanya Republik Indonesia Serikat merupakan satu bentuk campur tangan dari pihak luar yang sangat besar terhadap Indonesia. Akan tetapi campur tangan tersebut pada akhirnya dapat diminimalisir keberadaannya dengan adanya kesadaran untuk bersatu dari rakyat Indonesia. Kesadaran untuk bersatu ini nampak pada kesediaan dari negara-negara bagian di RIS untuk menyatukan komando serta berbagai aksi yang dilakukan oleh rakyat berkaitan dengan upaya untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi unitaris.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.

C. Konstelasi Politik pada Masa Percobaan Demokrasi
Kondisi Indonesia pada akhir tahun 1950-an, dilihat dari kaca mata sekarang, adalah Indonesia yang semrawut kondisi sosial, politik, dan ekonominya. Pada masa pascakemerdekaan itulah, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih "bayi", untuk pertama kalinya, mencoba menerapkan sistem demokrasi parlementer dalam kehidupan politiknya. Dan diduga, seandainya tidak banyak "rongrongan" terhadap demokrasi parlementer yang dilaksanakan saat itu, niscaya bentuk demokrasi itulah yang tampaknya akan terus terpakai sampai sekarang. Ide bahwa pemerintahan Indonesia harus menganut sistem demokrasi parlementer sebenarnya telah ada di benak tokoh-tokoh pergerakan sejak awal kemerdekaan. Buktinya adalah lahirnya Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X pada 16 Oktober 1945. Isi maklumat Hatta itu adalah membangun sistem banyak partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden--sebagai penguasa eksekutif dan legislatif sekaligus--sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984)
Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberkalukan kembali pada 17 Agustus 1950, terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidnag politik. Menurut amanat UUDS, pemerintahan RI berdasarkan sistem demokrasi parlementer dengan kabinet dan menteri- menteri yang bertanggung jawab ke parlemen. Perdana menteri pertama
4
pascapenyerahan kedaulatan itu adalah Mohammad Natsir, dari Masyumi. Sedangkan, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) merupakan kelanjutan dari DPR RIS, yang kebanyakan anggotanya adalah orang Federal yang mewakili daerah atau negara bagian pada masa RIS.
Pada masa ini, terjadi satu pesta demokrasi yang pertama di Indonesia, yaitu pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia. Pada masa ini pula Hatta menyatakan mundur sebagai wakil presiden di mana jabatan ini akan terus kosong sampai sekitar awal dekade 1970-an setelah pemilu yang kedua. Mundurnya Hatta sebagai wakil presiden menjadi salah atu dinamika politik yang menunjukkan kurva menanjak. Hatta yang pada masa itu adalah satu dari sedikit pendukung sistem parlementer, menjadi kaum yang minoritas ketika terjadi
euphoria menuju demokrasi terpimpin.
Sistem kabinet seperti yang telah dijelaskan di atas adalah sistem parlementer, di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Pada masa itu ada beberapa kabinet yang pernah memeirntah di Indonesia, yaitu kabinet Muhammad Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), Sukiman (April 1951- Februari 1952), Wilopo (April 1952 -Juni 1953), Ali Sastroamidjojo (Juni 1953- Juli 1955), Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957), dan Djuanda sampai Juli 1959 (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984; Ricklefs, 2005).
Kabinet pertama dari masa demokrasi parlementer adalah kabinet yan dipimpin oleh Muhammd Natsir sebagai Perdana Menteri. Natsir yang mendapat dukungan penuh dari masyumi yang berkoalisi dengan PSI setelah usaha koalisi dengan PNI gagal. Pada masa itu Indonesia diterima sebagai anggota PBB. Tugas utama dari kabinet in adalah usaha untuk mengembalikan Irian ke tangan indonesia. Kegagalan dari partai ini disebabkan karena mosi tidak percaya dari parlemen. PNI yang kala itu sebagai partai terbesar kedua dalam Parlemen menolak turut serta dalam kabinet karena kedudukan yang diberikan tidak sesuai. Karena penolakan tersebut, inti kabinet diisi kalangan Masyumi dan para menteri yang ahli di bidangnya (zaken kabinet) dan berasal dari luar partai politik. Namun, dalam perjalanannya kabinet ini tidak dapat melanjutkan kerjanya, salah satunya oleh karena kegagalan dalam perundingan soal Irian dengan Belanda dan mosi
5
Hadikusumo, dari PNI tentang pencabutan DPRS dan DPRDS yang diterima oleh Parlemen. Tak pelak, Kabinet Natsir jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet kedua adalah kabinet Sukiman. Kabinet ini berkoalisi dengan Masyumi dan PNI. Kabinet sukiman menjadi paling terkenal karena usahanya ynag serius untuk menumpas PKI. Kegagalan Sukiman dalam menangani masalah pemberontakan kahar muzakar di sulawesi sangat melemahkan kekuasaannya. Adapun penyebab dari jatuhnya kabinet ini adalah ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika kepada Indonesia atas dasar MSA. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan program kabinet dalam hal politik luar negeri yang bebas aktif, dengan ditandatanganinya menimbulkan tafsiran bahwa indonesia condong ke blok barat.
Setelah jatuhnya kabinet Sukiman, terbentuklah Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953). Kabinet ini merupakan koalisi dari Masyumi dan PNI. Program kabinet ini adalah untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu. Sedangkan politik luar negeri ditujukan untuk penyelesaian hubungan indonesia-belanda dan pengembalian irian barat. Tetapi dalam perjalanannya, banyak sekali hambatan yaitu timbulnya provinsialisme dan separatisme, hal ini muncul karena adanya rasa kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Kabinet ini kehilangan kepercayaan akibat kegagalan demobilisasinya. Tanggal 2 juni 1953 Wilopo mengembalikan mandat kepada presiden.
Kabinet berikutnya adalah Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-Juli 1955) yang merupakan hasil koalisi dari PNI, NU, serta partai-partai kecil, sedangkan PSI dan Masyumi tidak mendapatkan tempat di kabinet namun dua orang simpatisan PKI dimasukkan. Kabinet ini menekankan pada indonesianisasi perekonomian dan memberi dukungan pada penguasa pribumi. Salah satu kesuksesan kabinet ini adalah terselenggaranya Konfrensi Asia-Afrika. Pada masa ini berbagai permasahan, seperti pemberontakan-pemberontakan daerah yang belum juga berhasil dipadamkan serta persiapan menghadapi pemilu yang pertama.
Kabinet Ali Sastroamidjojo atau yang dikenal juga dengan kabinet Ali-
Wongso merupakan kabinet yang paling lama bertahan. Jatuhnya popularitas
6
kabinet ini karena permasalahan dengan angkatan darat serta banyaknya kasus
korupsi dan keadaan perekonomian yang semakin memburuk.
Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) adalah pengganti dari kabinet Ali. Kabinet ini merupakan hasil koalisi dari masyumi, PSI dan NU. Pada masa kabinet ini dilakukan pemilihan umum pertama di Indonesia. Lebih dari 37 juta orang memberikan suara mewakili 91,5 % dari para pemilih yang terdaftar. Kabinet inipun tidak bertahan lama. Akibat dari banyaknya mutasi yang dilakukan di beberapa kementerian membuat beberapa pertai menarik dukungan sehingga pada 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap jatuh.
Setelah Burhanudin Harahap, presiden kembali mempercayakan kabinet kepada Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957). Dia bertekad membentuk koalisi PNI-Masyumi-NU dan mengesampingkan PSI dan PKI. Kabinet ini memiliki program lima tahun yang didalamnya memuat tentang pembebasan Irian Barat, pembentukan daerah-daerah otonom, serta mewujudkan ekonomi nasional. Dalam pelaksanaanya, kabinet tersebut mengalami perpecahan sehingga tidak dapat bekerja maksimal. Permasalahan yang muncul pada kabinet-kabinet sebelumnya sepertinya memuncak pada masa kabinet Ali II ini, permasalah tentara serta militer, pemberontakan-pemberontakan daerah (separatis) semakin jelas terlihat. Kondisi masyarakat saat itu sudah terpolularkan, Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan sudah tidak mendapat kepercayaan dari daerah diluar Jawa. Para politisi sibuk dengan urusan partai masing-masing sehingga yang terjadi adalah politik saling menjatuhkan. Berbagai hal diatas membuat sistem demokrasi perlementer tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Partai Politik dan Pemilu
Selain itu pada masa percobaan demokrasi tersebut banyak bermunculan partai-partai yang mewakili ideologi-ideologi tertentu seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mewakili kalangan nasionalis dan demokrastis, basisnya adalah dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor, PSI (Partasi Sosialis Indonesia) yang mewakili masyarakat sosialis, Masyumi, NU, Parkindo (Kristen) yang mewakili golongan agamis, serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mewakili
7
ideologi komunis, partisannya adalah kaum buruh perkotaan dan buruh
perusahaan pertanian.
Momentum paling demokratis pada masa itu tentu saja adalah pelaksanaan pemilu yang bebas dan rahasia berhasil dilaksanakan ada masa perdana menteri Burhanudin Harahap. Pemilu itu sendiri merupakan program kabinet-kabinet sebelumnya, yang tak pernah terlaksana. Dan, pemilu tahun 1955 itu telah memunculkan kembali harapan rakyat Indonesia akan kemakmuran dan kesejahteraan yang tak muncul sejak RI diproklamasikan tahun 1945.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam, Nasionalisme, dan Komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis. Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah, serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu juga membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari elite yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan dewan konstituante. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara dan mewakili 91,5% dari para pemilih yang terdaftar. Pemilihan umum ini menawarkan pilihan yang bebas di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye dengan penuh semangat. Oleh karena itu, hasil-hasil pemilihan umum tersebut dapat menunjukkan kesetiaan-kesetiaan politik pada saat itu.
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai bertambah banyak, dengan jumlah partai 28 yang mendapatkan kurssi, padahal sebelumnya hanya 20 partai yang mendapatkan kursi. Akan tetapi hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dilkalangan partai-partai “empat besar” ini hampir terjadi jalan buntu. Partai yang terbsar hanya menguasai 22% kursi DPR. Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk

8
mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi para para pemimpin NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi DPR medeka dari 8 menjadi 45 kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elit Jakarta dan membuat PNI makin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh PKI (Ricklefs, 2005:496).
Tabel 1. Hasil Pemilu 1955 (Sumber: Ricklefs, 2005:496)
Suara yang Sah           % Suara yang Sah       Kursi Parlemen            % Kursi Parlemen
PNI               8.434.653                      22,3                             57                               22,2
Masyumi       7.903.886                      20,9                             57                               22,2
NU                6.955.141                      18,4                             45                               17,5
PKI               6.176.914                      16,4                             39                               15,2
PSII              1.091.160                        2,9                               8                                 3,1
Parkindo       1.003.325                        2,6                               8                                 3,1
Partai Katolik   770.740                        2,0                               6                                 2,3
PSI                   753.191                        2,0                               5                                 1,9
Murba              199.588                        0,5                               2                                 0,8
Lain-lain        4.496.701                      12,0                             30                               11,7
Jumlah         37.758.299                       100                           257                                100

Hasil Pemilu 1955 itu memang akhirnya sangat mencerminkan ideologi yang menonjol dari empat partai besar waktu itu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Sedangkan kabinet pertama yang dihasilkan pemilu itu adalah Kabinet pimpinan Ali Sastroamidjojo dari PNI.
Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika merupakan suatu pertemuan negara-negara yang berada di kawaan Asia dan Afrika untuk saling bertukar pendapat dan merundingkan permasalahan yang dihadapi bersama. Permasalahan yang dibincangkan dalam KAA berkaitan dengan amsalah kerjasama ekonomi, kerjasama budaya, hak asasi manusia dan menentukan nasib sendiri, masalah
1
KONSTELASI POLITIK PADA MASA PERCOBAAN DEMOKRASI
(1950-1957)
Tsabit Azinar Ahmad
A. Pendahuluan
Masa-masa awal kemeredekan merupakan salah satu masa yang labil dalam berbagai hal. Dalam bidang politik, tahun-tahun pertama kemerdekaan merupakan masa peralihan ketika terbentuk pemerintahan Indonesia yang baru dan tekanan kekuatan luar, yaitu Belanda dan perpolitikan global pasca perang dunia kedua. Daam bidang sosial, perubahan sosial akibat kemerdekaan terjadi. Dalam bidang ekonomim kondisi ekonomi mengalami ketidakstabilan. Setelah Indonesia menyatakan diri sebagai wilayah sendiri dengan dileburkannya Republik Indonesia Serikat, Indonesia memasuki satu masa baru yakni masa ketika Indonesia mencari format baru dalam sistem pemerintahan dan politik. Masa pencarian ini disebut pula dengan masa percobaan demokrasi.
Masa percobaan demokrasi merupakan satu tahapan ketika Indonesia masih mencari format pemerintahan dan sistem politik yang sesuai dengan kondisi Indonesia. Masa ini berlangsung pada 1950-1957 ketika pada masa itu sistem pemerintahan bersifat liberal ketika sistem pemerintahan menggunakan sistem parlementer. Masa antara tahun 1950-1957 merupakan satu periode yang berbeda dengan situasi politik pada masa Orde Lama maupun Orde Baru. Periode Demokrasi Parlementer merupakan masa paling dinamis saat mania bangsa Indonesia mulai bereksprimen dengan demokrasi. Sistem parlementer multi partai dengan kekuatan berimbang memicu persaingan antar berbagai faksi politik untuk saling menjatuhkan. Hal itu terbaca melalui polemik terbuka dan keras antar surat kabar di Jakarta masa itu.
Dalam makalah ini akan dipaparkan berkaitan dengan bagaimaman kondisi perpolitikan pada masa percobaan demokrasi serta bagaimana dampak yang dihasilkannya.
2
B. Kondisi Politik Indonesia Sebelum Masa Percobaan Demokrasi
Kondisi perpolitikan di Indonesia senantiasa mengalami pasang surut dan dinamika. Pada tahun-tahun pertama kemerdekaan, kondisi politik di Indonesia masih sangat labil. Hal ini dikarenakan masih banyaknya aktivitas yang dilakukan baik oleh Indonesia sendiri atau oleh pihak luar berkaitan dengan status pascakemerdekaan. Pihak Indonesia sendiri masih sibuk dengan segala urusan yang berkaitan dengan pemindahan kekuasaan serta upaya-upaya untuk segera berbenah diri guna membangun negara. Dari pihak luar, setelah menangnya blok sekutu atas blok poros, ada keinginan dari pihak pemenang perang dunia untuk mengawal Indonesia yang baru lahir. Akan tetapi hal ini menjadi satu kesempatan bagi pihak Belanda untuk kembali lagi ke Indonesia. Akibatnya, masih terdapat campur tangan dari pihak luar terhadap Indonesia. Selain itu, kebijakan-kebijakan dalam bidang politik pada masa ini masih belum dapat dikatakan bersifat benar- benar lepas dari pengaruh Belanda, aplagi ditambah adanya agresi militer I dan II serta perjanjian-perjanjian yang telah mengubah sistem konstitusi dan struktur perpolitikan nasional. Praktis pada masa ini Indonesia masih belum menemukan “jati dirinya”.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, Indonesia cenderung bersifat kompromistis walaupun beberapa langkah radikal dilakukan. Puncak dari sifat kompromis Indonesia adalah dengan diadakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag pada 23 Agustus 1949 dan selesai pada 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh Republik Indonesia,Bijee nkomst
voor Federaal Overleg(BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga
oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Dari KMB ini dihasilkan beberapa kesepakatan yaitu (1) didirikannya negara Republik Indonesia Serikat, (2) penyerahan kedaulatan (baca “pemulihan kedaulatan”) kepada Republik Indonesia Serikat, serta (3) didirikannya Uni antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Adanya Republik Indonesia Serikat merupakan satu bentuk campur tangan dari pihak luar yang sangat besar terhadap Indonesia. Akan tetapi campur tangan tersebut pada akhirnya dapat diminimalisir keberadaannya dengan adanya kesadaran untuk bersatu dari rakyat Indonesia. Kesadaran untuk bersatu ini nampak pada kesediaan dari negara-negara
3
bagian di RIS untuk menyatukan komando serta berbagai aksi yang dilakukan oleh rakyat berkaitan dengan upaya untuk mengubah sistem pemerintahan menjadi unitaris.
Sebelum Republik Indonesia Serikat dinyatakan bubar, pada saat itu terjadi demo besar-besaran menuntut pembuatan suatu Negara Kesatuan. Maka melalui perjanjian antara tiga negara bagian, Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera Timur dihasilkan perjanjian pembentukan Negara Kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Sejak 17 Agustus 1950, Negara Indonesia diperintah dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 yang menganut sistem kabinet parlementer.
C. Konstelasi Politik pada Masa Percobaan Demokrasi
Kondisi Indonesia pada akhir tahun 1950-an, dilihat dari kaca mata sekarang, adalah Indonesia yang semrawut kondisi sosial, politik, dan ekonominya. Pada masa pascakemerdekaan itulah, Negara Kesatuan Republik Indonesia yang masih "bayi", untuk pertama kalinya, mencoba menerapkan sistem demokrasi parlementer dalam kehidupan politiknya. Dan diduga, seandainya tidak banyak "rongrongan" terhadap demokrasi parlementer yang dilaksanakan saat itu, niscaya bentuk demokrasi itulah yang tampaknya akan terus terpakai sampai sekarang. Ide bahwa pemerintahan Indonesia harus menganut sistem demokrasi parlementer sebenarnya telah ada di benak tokoh-tokoh pergerakan sejak awal kemerdekaan. Buktinya adalah lahirnya Maklumat Wakil Presiden (Wapres) X pada 16 Oktober 1945. Isi maklumat Hatta itu adalah membangun sistem banyak partai dan menggusur kekuasaan rangkap presiden--sebagai penguasa eksekutif dan legislatif sekaligus--sebelum MPR dan DPR dibentuk. Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pun difungsikan sebagai lembaga legislatif (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984)
Kemudian setelah Negara Kesatuan Republik Indonesia diberkalukan kembali pada 17 Agustus 1950, terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai bidang, khususnya dalam bidnag politik. Menurut amanat UUDS, pemerintahan RI berdasarkan sistem demokrasi parlementer dengan kabinet dan menteri- menteri yang bertanggung jawab ke parlemen. Perdana menteri pertama
4
pascapenyerahan kedaulatan itu adalah Mohammad Natsir, dari Masyumi. Sedangkan, Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) merupakan kelanjutan dari DPR RIS, yang kebanyakan anggotanya adalah orang Federal yang mewakili daerah atau negara bagian pada masa RIS.
Pada masa ini, terjadi satu pesta demokrasi yang pertama di Indonesia, yaitu pemilihan umum yang berlangsung secara bebas dan rahasia. Pada masa ini pula Hatta menyatakan mundur sebagai wakil presiden di mana jabatan ini akan terus kosong sampai sekitar awal dekade 1970-an setelah pemilu yang kedua. Mundurnya Hatta sebagai wakil presiden menjadi salah atu dinamika politik yang menunjukkan kurva menanjak. Hatta yang pada masa itu adalah satu dari sedikit pendukung sistem parlementer, menjadi kaum yang minoritas ketika terjadi
euphoria menuju demokrasi terpimpin.
Sistem kabinet seperti yang telah dijelaskan di atas adalah sistem parlementer, di mana kabinet bertanggung jawab kepada parlemen. Pada masa itu ada beberapa kabinet yang pernah memeirntah di Indonesia, yaitu kabinet Muhammad Natsir (6 September 1950-20 Maret 1951), Sukiman (April 1951- Februari 1952), Wilopo (April 1952 -Juni 1953), Ali Sastroamidjojo (Juni 1953- Juli 1955), Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957), dan Djuanda sampai Juli 1959 (Poesponegoro dan Notosusanto [et.al], 1984; Ricklefs, 2005).
Kabinet pertama dari masa demokrasi parlementer adalah kabinet yan dipimpin oleh Muhammd Natsir sebagai Perdana Menteri. Natsir yang mendapat dukungan penuh dari masyumi yang berkoalisi dengan PSI setelah usaha koalisi dengan PNI gagal. Pada masa itu Indonesia diterima sebagai anggota PBB. Tugas utama dari kabinet in adalah usaha untuk mengembalikan Irian ke tangan indonesia. Kegagalan dari partai ini disebabkan karena mosi tidak percaya dari parlemen. PNI yang kala itu sebagai partai terbesar kedua dalam Parlemen menolak turut serta dalam kabinet karena kedudukan yang diberikan tidak sesuai. Karena penolakan tersebut, inti kabinet diisi kalangan Masyumi dan para menteri yang ahli di bidangnya (zaken kabinet) dan berasal dari luar partai politik. Namun, dalam perjalanannya kabinet ini tidak dapat melanjutkan kerjanya, salah satunya oleh karena kegagalan dalam perundingan soal Irian dengan Belanda dan mosi
5
Hadikusumo, dari PNI tentang pencabutan DPRS dan DPRDS yang diterima oleh Parlemen. Tak pelak, Kabinet Natsir jatuh dan menyerahkan mandatnya kepada Presiden.
Kabinet kedua adalah kabinet Sukiman. Kabinet ini berkoalisi dengan Masyumi dan PNI. Kabinet sukiman menjadi paling terkenal karena usahanya ynag serius untuk menumpas PKI. Kegagalan Sukiman dalam menangani masalah pemberontakan kahar muzakar di sulawesi sangat melemahkan kekuasaannya. Adapun penyebab dari jatuhnya kabinet ini adalah ditandatanganinya persetujuan bantuan ekonomi dan persenjataan dari Amerika kepada Indonesia atas dasar MSA. Hal ini menimbulkan pertentangan dengan program kabinet dalam hal politik luar negeri yang bebas aktif, dengan ditandatanganinya menimbulkan tafsiran bahwa indonesia condong ke blok barat.
Setelah jatuhnya kabinet Sukiman, terbentuklah Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953). Kabinet ini merupakan koalisi dari Masyumi dan PNI. Program kabinet ini adalah untuk mempersiapkan pelaksanaan pemilu. Sedangkan politik luar negeri ditujukan untuk penyelesaian hubungan indonesia-belanda dan pengembalian irian barat. Tetapi dalam perjalanannya, banyak sekali hambatan yaitu timbulnya provinsialisme dan separatisme, hal ini muncul karena adanya rasa kekecewaan terhadap pemerintah pusat. Kabinet ini kehilangan kepercayaan akibat kegagalan demobilisasinya. Tanggal 2 juni 1953 Wilopo mengembalikan mandat kepada presiden.
Kabinet berikutnya adalah Ali Sastroamidjojo (Juni 1953-Juli 1955) yang merupakan hasil koalisi dari PNI, NU, serta partai-partai kecil, sedangkan PSI dan Masyumi tidak mendapatkan tempat di kabinet namun dua orang simpatisan PKI dimasukkan. Kabinet ini menekankan pada indonesianisasi perekonomian dan memberi dukungan pada penguasa pribumi. Salah satu kesuksesan kabinet ini adalah terselenggaranya Konfrensi Asia-Afrika. Pada masa ini berbagai permasahan, seperti pemberontakan-pemberontakan daerah yang belum juga berhasil dipadamkan serta persiapan menghadapi pemilu yang pertama.
Kabinet Ali Sastroamidjojo atau yang dikenal juga dengan kabinet Ali-
Wongso merupakan kabinet yang paling lama bertahan. Jatuhnya popularitas
6
kabinet ini karena permasalahan dengan angkatan darat serta banyaknya kasus
korupsi dan keadaan perekonomian yang semakin memburuk.
Kabinet Burhanudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956) adalah pengganti dari kabinet Ali. Kabinet ini merupakan hasil koalisi dari masyumi, PSI dan NU. Pada masa kabinet ini dilakukan pemilihan umum pertama di Indonesia. Lebih dari 37 juta orang memberikan suara mewakili 91,5 % dari para pemilih yang terdaftar. Kabinet inipun tidak bertahan lama. Akibat dari banyaknya mutasi yang dilakukan di beberapa kementerian membuat beberapa pertai menarik dukungan sehingga pada 3 Maret 1956 Burhanudin Harahap jatuh.
Setelah Burhanudin Harahap, presiden kembali mempercayakan kabinet kepada Ali Sastroamidjojo (Maret 1956-Maret 1957). Dia bertekad membentuk koalisi PNI-Masyumi-NU dan mengesampingkan PSI dan PKI. Kabinet ini memiliki program lima tahun yang didalamnya memuat tentang pembebasan Irian Barat, pembentukan daerah-daerah otonom, serta mewujudkan ekonomi nasional. Dalam pelaksanaanya, kabinet tersebut mengalami perpecahan sehingga tidak dapat bekerja maksimal. Permasalahan yang muncul pada kabinet-kabinet sebelumnya sepertinya memuncak pada masa kabinet Ali II ini, permasalah tentara serta militer, pemberontakan-pemberontakan daerah (separatis) semakin jelas terlihat. Kondisi masyarakat saat itu sudah terpolularkan, Jakarta yang menjadi pusat pemerintahan sudah tidak mendapat kepercayaan dari daerah diluar Jawa. Para politisi sibuk dengan urusan partai masing-masing sehingga yang terjadi adalah politik saling menjatuhkan. Berbagai hal diatas membuat sistem demokrasi perlementer tersebut sudah tidak dapat dipertahankan lagi.
Partai Politik dan Pemilu
Selain itu pada masa percobaan demokrasi tersebut banyak bermunculan partai-partai yang mewakili ideologi-ideologi tertentu seperti PNI (Partai Nasional Indonesia) yang mewakili kalangan nasionalis dan demokrastis, basisnya adalah dalam birokrasi dan kalangan pegawai kantor, PSI (Partasi Sosialis Indonesia) yang mewakili masyarakat sosialis, Masyumi, NU, Parkindo (Kristen) yang mewakili golongan agamis, serta PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mewakili
7
ideologi komunis, partisannya adalah kaum buruh perkotaan dan buruh
perusahaan pertanian.
Momentum paling demokratis pada masa itu tentu saja adalah pelaksanaan pemilu yang bebas dan rahasia berhasil dilaksanakan ada masa perdana menteri Burhanudin Harahap. Pemilu itu sendiri merupakan program kabinet-kabinet sebelumnya, yang tak pernah terlaksana. Dan, pemilu tahun 1955 itu telah memunculkan kembali harapan rakyat Indonesia akan kemakmuran dan kesejahteraan yang tak muncul sejak RI diproklamasikan tahun 1945.
Menjelang pemilu, pertarungan ideologi pun semakin meruncing. Ideologi politik yang paling besar dan berpengaruh ketika itu adalah Islam, Nasionalisme, dan Komunisme. Partai Komunis Indonesia (PKI) yang runtuh setelah Pemberontakan Madiun tahun 1948 bangkit dengan cepat. PKI tampil lebih korporatif dan memanfaatkan pertarungan antara Islam dan Nasionalis. Kondisi politik yang penuh pertikaian elite, keadaan ekonomi yang parah, serta sektor strategis dan modal yang dikuasai asing membuat PKI cepat meraih massa. Selain itu, ketakutan kemenangan Masyumi pada pemilu 1955 itu juga membuat PKI mudah mendapat teman dari pihak Nasionalis, setidaknya dari elite yang khawatir Masyumi akan mendirikan negara Islam.
Pemilu 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan dewan konstituante. Lebih dari 39 juta orang memberikan suara dan mewakili 91,5% dari para pemilih yang terdaftar. Pemilihan umum ini menawarkan pilihan yang bebas di kalangan partai-partai yang tak terbatas, yang kesemuanya berkampanye dengan penuh semangat. Oleh karena itu, hasil-hasil pemilihan umum tersebut dapat menunjukkan kesetiaan-kesetiaan politik pada saat itu.
Pemilihan umum tersebut menimbulkan beberapa kekecewaan dan kejutan. Jumlah partai bertambah banyak, dengan jumlah partai 28 yang mendapatkan kurssi, padahal sebelumnya hanya 20 partai yang mendapatkan kursi. Akan tetapi hanya empat partai yang mendapat lebih dari delapan kursi, yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Dilkalangan partai-partai “empat besar” ini hampir terjadi jalan buntu. Partai yang terbsar hanya menguasai 22% kursi DPR. Beberapa pemimpin Masyumi merasa bahwa kemajuan Islam menuju kekuasaan nasional kini terhalang dan bahwa perhatian mereka seharusnya dialihkan untuk
8
mengintensifkan Islam di tingkat rakyat jelata. Akan tetapi para para pemimpin NU sangat gembira atas hasil yang menambah kursi DPR medeka dari 8 menjadi 45 kursi. Penampilan PKI sangat mengejutkan kalangan elit Jakarta dan membuat PNI makin cemas akan ancaman potensial yang ditimbulkan oleh PKI (Ricklefs, 2005:496).
Tabel 1. Hasil Pemilu 1955 (Sumber: Ricklefs, 2005:496)
Partai
Suara yang
Sah
% Suara
yang Sah
Kursi
Parlemen
% Kursi
Parlemen
PNI
8.434.653
22,3
57
22,2
Masyumi
7.903.886
20,9
57
22,2
NU
6.955.141
18,4
45
17,5
PKI
6.176.914
16,4
39
15,2
PSII
1.091.160
2,9
8
3,1
Parkindo
1.003.325
2,6
8
3,1
Partai Katolik
770.740
2,0
6
2,3
PSI
753.191
2,0
5
1,9
Murba
199.588
0,5
2
0,8
Lain-lain
4.496.701
12,0
30
11,7
Jumlah
37.758.299
100
257
100
Hasil Pemilu 1955 itu memang akhirnya sangat mencerminkan ideologi yang menonjol dari empat partai besar waktu itu: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Sedangkan kabinet pertama yang dihasilkan pemilu itu adalah Kabinet pimpinan Ali Sastroamidjojo dari PNI.
Konferensi Asia Afrika
Konferensi Asia Afrika merupakan suatu pertemuan negara-negara yang berada di kawaan Asia dan Afrika untuk saling bertukar pendapat dan merundingkan permasalahan yang dihadapi bersama. Permasalahan yang dibincangkan dalam KAA berkaitan dengan amsalah kerjasama ekonomi, kerjasama budaya, hak asasi manusia dan menentukan nasib sendiri, masalah
9
negara-negara yang belum merdeka dan masalah perdamaian dunia dan kerja sama internasional, yakni Rodhesia (Federasi Afrika Tengah) karena pergol;akan politik. Peserta konferensi Asia Afrika tersebut adalah Afganistan, Ethiopia, Filipina, India, Indonesia, Irak, Iran, Jepang, Kamboja, Laos, Lebanon, Lybia, Mesir, Myanmar, Nepal, Pakistan, Pantai Emas, Saudi Arabia, Sri Lanka, Sudan, Syiria, Thailand, Tiongkok, Turki, Vietnam Utara, Vietnam Selatan, Yaman, dan Yordania (Poeponegoro dan Nugroho [et.al], 1984).
Dalam pelaksanaannya, KAA memiliki tujuan utama yaitu untuk mewujudkan perdamaian dunia dan ketentraman hidup antarbangsa-bangsa Asia- Afrika. Spesifikasi tujuan KAA adalah (1) memajukan kerjasama dan hubungan bertetangga dengan baik, (2) mempertimbangkan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan negara-negara anggota, (3) mempertimbangkan masalah- masalah khusus bangsa-bangsa Asia-Afrika, (4) meninjau keuddukan asia serta rakyatnya di dunia ini serta sumbangan bagi perdamaian dan kerja sama dunia (Sekretariat Negara, 1986)
Pelaksanaan KAA adalah pada tanggal 18-25 April 1955 di Bandung. Adapun alasan pelaksanaan KAA ini adalah (1) adanya persaman dalam banyak bidang dan keadaan yang dianggap saling melengkapi sehingga dapat dijadika satu kesatuan, (2) munculnya permasalahan-permasalahan yang harus diatasi bersama. Dengan alasan tersebut, pemipin negara Indonesia (Ali Sastroamidjojo), India (Jawaharlal Nehru), Myanmar (U Nu), dan Sri Lanka (Sir John Kotelawala) pasca konferensi Pancanegara I (Kolombo, 28 april-2 Mei 1954) dan konferensi Pancanegara II (Bogor, 28-29 Desember 1954) sepakat untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika dengan mengundang 30 negara untuk turut berpartisipasi di dalamnya. Akan tatapi dalam pelaksanaannya hanya 29 negara yang hadir.
Hasil dari KAA adalah dengan diputuskannya sepuluh keputusan yang disebut Dasasila Bandung. Dengan adanya Dasasila Bandung ini, berarti satu lembaran baru dalam sejarah perkembangan tata kehidupan internasional mengalami perubahan karena dengan dilaksanakannya KAA yang pada waktu itu sedang terjadi persaingan antara Uni Sovyet dan Amerika Serikat muncul satu kekuatan baru, yakni Asia dan Afrika.
10
Akhir Masa Percobaan Demokrasi
Setelah Pemilu menghasilkan DPR dan Konstituante, keadaan ternyata bertambah buruk, tak seperti yang diharapkan rakyat. Pertikaian antarmiliter, pergolakan daerah melawan pusat, dan ekonomi yang semrawut tetap membuat masa depan tampak suram. Masalah yang menghadang Kabinet itu datang dari para panglima daerah, yang menuding pusat tidak memperhatikan kesejahteraan prajurit daerah. Mereka pun didukung Masyumi dan PSI. Lalu pada tahun 1956, timbul beberapa pemberontakan militer yang gagal, yang diatur bekas Pejabat KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Para pendukungnya mengkritik bahwa Kabinet telah melalaikan negara, dan mereka mengarahkan perlunya diktator militer.
Akhir tahun 1956, keadaan pun bertambah buruk. Panglima militer di beberapa daerah mengambil alih kekuasaan dari pimpinan sipil. Mereka menilai Jakarta terlalu sentralistis, korup, mengabaikan luar Jawa, serta banyak tuduhan lainnya. Mereka juga memaksa Kabinet Ali mundur, dan mendukung kembalinya Hatta--yang mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden pada 1 Desember 1956--untuk memimpin kabinet baru. Kelompok itu disebut-sebut berhubungan dengan militer kelompok Zulkifli Lubis, Masyumi, PSI, dan Parkindo. Inti tuntutan mereka sebenarnya adalah kembalinya dwitunggal Soekarno--Hatta ke kekuasaan. Pada tahun itulah, Soekarno sudah mulai mendesak dikuburkannya demokrasi liberal dan diganti dengan demokrasi terpimpin. Konsep Soekarno itu kemudian diumumkan secara luas di halaman Istana Merdeka pada 21 Februari 1957. Intinya adalah demokrasi terpimpin, perlunya Kabinet Kaki Empat, dan pembentukan Dewan Nasional. Konsep itu menjadi perdebatan sekaligus pertentangan di DPR. Soalnya, hanya Konstituante yang berwenang mengubah sistem pemerintahan dan susunan ketatanegaraan secara radikal. Cuma, dalam pandangan Soekarno, Konstituante terlalu lambat menyelesaikan rancangan UUD, dan sepertinya akan gagal.
Tetapi tahun 1957, percobaan demokrasi mengalami kegagalan, hal itu disebabkan karena dasar untuk dapat membangun demokrasi perwakilan hampir tidak ditemukan. Penyebabnya antara lain karena kebanyakan rakyat indonesia kebanyakan masih buta huruf, miskin, terbiasa dengan kekuasaan yang otoriter
11
dan paternalistik, dan tersebar di kepulauan yang sangat luas/dalam posisi yang sulit untuk memaksa pertanggungjawaban atas perbuatan para politisi di jakarta. Selain itu pada tahun 1957, korupsi tersebar luas, kesatuan terancam, keadilan sosial belum tercapai, msalah-masalah ekonomi belum terpecahkan dan harapan dari revolusi belum tercapai.
Ada berbagai masalah yang dihadapi juga terjadi dalam bidang ekonomi, sosial, politik dan militer. Pada bidang ekonomi ada kepentingan-kepentingan non-indonesia mempunai arti penting, misalnya saja belanda dan cina. Selain itu karena lambatnya pemulihan ekonomi menyebabkan terjadinya inflasi, sehingga biaya hidup melinjat sampai 100% dan sektor kemasyarakatan menderita. Dalam bidang demografi jumlah meningkat tajam sehingga produksi pangan meningkat tetapi tidak cukup. Sehingga untuk mengatasi itu pemerintah melakukan impor. Dalam bidang perdagangan jaringan perdagangan luas tetapi tidak mempunyai dukungan politk dan sebagian kaum borjuis indonesia masih berpegang teguh kepada agama islam yang jaringan perdagangannya tidak begitu luas dan dukungan politiknya terbatas. Dalam bidang pendidikan ini diberi prioritas utama dan jumlah lembaga pendidikan meningkat luas. Sementara itu dalam bidang militer terdapat perpecahan dalam tubuh tentara.

D. Penutup
Masa percobaan demokrasi merupakan satu masa ketika di dalamnya banyak terjadi aktivitas politik yang bebas. Hal ini dikarenakan maa ini merupakan masa demokrasi liberal dan menganut sistem parlementer. Akan tetapi berbagai dinamika politik ini pada akhirnya telah membawa serangkaian kegagalan merugina di berbagai bidang.

Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto (et.al). 1984.Sejarah
Nasional Indonesia Jilid V. Jakarta: Balai Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi
Sekretariat Negara Indonesia. 1986. 30 Yahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT
Citra Lamtoro Gung Persada