Mengenai Saya

Foto saya
ska bercanda, tidak suka klo di bohongi apalagi sampai di khianati.... terlihat serem n kaku padahal orangnya mengasyikkan dam menyenagkan... jangan melihat orang dari wajah atow tampilannya saja, lihatlah juga dari sikap, perhatian dan perilakunya...

Rabu, 02 Februari 2011

GANGGUAN KEAMANAN PASCA KEMERDEKAAN

PERISTIWA MADIUN
Peristiwa Madiun adalah sebuah konflik kekerasan yang terjadi di Jawa Timur bulan September sampai Desember 1948 antara pemberontak komunis PKI dan TNI. Peristiwa ini diawali dengan diproklamasikannya Republik Soviet Indonesia pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh Muso, seorang tokoh Partai Komunis Indonesia dengan didukung pula oleh Menteri Pertahanan saat itu, Amir Sjarifoeddin.
Pada saat itu hingga era Orde Lama peristiwa ini dinamakan Peristiwa Madiun, dan tidak pernah disebut sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Baru di era Orde Baru peristiwa ini mulai dinamakan Pemberontakan PKI Madiun. Bersamaan dengan itu terjadi penculikan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Madiun yang tidak baik itu tokoh sipil maupun militer di pemerintahan ataupun tokoh-tokoh masyarakat dan agama.
Masih ada kontroversi mengenai peristiwa ini. Sejumlah pihak merasa tuduhan bahwa PKI yang mendalangi peristiwa ini sebetulnya adalah rekayasa pemerintah Orde Baru (dan sebagian pelaku Orde Lama).
Tawaran bantuan dari Belanda
Pada awal konflik Madiun, pemerintah Belanda berpura-pura menawarkan bantuan untuk menumpas pemberontakan tersebut, namun tawaran itu jelas ditolak oleh pemerintah Republik Indonesia. Pimpinan militer Indonesia bahkan memperhitungkan, Belanda akan segera memanfaatkan situasi tersebut untuk melakukan serangan total terhadap kekuatan bersenjata Republik Indonesia. Memang kelompok kiri termasuk Amir Syarifuddin Harahap, tengah membangun kekuatan untuk menghadapi Pemerintah RI, yang dituduh telah cenderung berpihak kepada Amerika Serikat (dan bukannya kepada Uni Soviet).
Latar belakang
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, muncul berbagai organisasi yang membina kader-kader mereka, termasuk golongan kiri dan golongan sosialis. Selain tergabung dalam Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Partai Sosialis Indonesia (PSI) juga terdapat kelompok-kelompok kiri lain, antara lain Kelompok Diskusi Patuk, yang diprakarsai oleh Dayno, yang tinggal di Patuk, Gunung Kidul, Yogyakarta. Yang ikut dalam kelompok diskusi ini tidak hanya dari kalangan sipil seperti D.N. Aidit dan Syam Kamaruzzaman, melainkan kemudian juga dari kalangan militer dan bahkan beberapa komandan brigade, antara lain Kolonel Djoko Soejono, Letkol Soediarto (Komandan Brigade III, Divisi III), Letkol Soeharto (Komandan Brigade X, Divisi III. Kemudian juga menjadi Komandan Wehrkreise III, dan menjadi Presiden RI), Letkol Dahlan, Kapten Soepardjo, Kapten Abdul Latief dan Kapten Oentoeng Samsoeri
Pada bulan Mei 1948 bersama Soeripno, Wakil Indonesia di Praha, Muso, kembali dari Moskwa, Uni Soviet. Tanggal 11 Agustus, Muso tiba di Yogyakarta dan segera menempati kembali posisi di pimpinan Partai Komunis Indonesia. Banyak politisi sosialis dan komandan pasukan bergabung dengan Muso, antara lain Amir Sjarifuddin Harahap, Setyadjit Soegondo dan kelompok diskusi Patuk.Pada era ini aksi saling menculik dan membunuh mulai terjadi, dan masing-masing pihak menyatakan, bahwa pihak lainlah yang memulai. Banyak reska perwira TNI, perwira polisi, pemimpin agama, pondok pesantren di Madiun dan sekitarnya yang diculik dan dibunuh.Pada 10 September 1948, mobil Gubernur Jawa Timur, RM Ario Soerjo, dan mobil 2 perwira polisi dicegat massa pengikut PKI di Kedunggalar, Ngawi, Jawa Timur. Ke-3 orang tersebut dibunuh dan jenazahnya dibuang di dalam hutan. Demikian juga dr. Moewardi dari golongan kiri, diculik ketika sedang bertugas di rumah sakit Solo, dan kabar yang beredar ia pun juga dibunuh. Tuduhan langsung dilontarkan, bahwa pihak lainlah yang melakukannya. Di antara yang menjadi korban juga adalah Kol. Marhadi yang namanya sekarang diabadikan dengan Monumen yang berdiri di tengah alun-alun Kota Madiun dan nama jalan utama di Kota Madiun.
Kelompok kiri menuduh sejumlah petinggi Pemerintah RI, termasuk Wakil Presiden Mohammad Hatta telah dipengaruhi oleh Amerika Serikat untuk menghancurkan Partai Komunis Indonesia, sejalan dengan doktrin Harry S. Truman, Presiden AS yang mengeluarkan gagasan Teori Domino. Truman menyatakan, bahwa apabila ada satu negara jatuh ke bawah pengaruh komunis, maka negara-negara tetangganya akan juga akan jatuh ke tangan komunis, seperti layaknya dalam permainan kartu domino. Oleh karena itu, dia sangat gigih dalam memerangi komunis di seluruh dunia.
Kemudian pada 21 Juli 1948 telah diadakan pertemuan rahasia di hotel "Huisje Hansje" sarangan, dekat Madiun yang dihadiri oleh Soekarno, Hatta, Soekiman Wirjosandjojo (Menteri Dalam Negeri), Mohamad Roem (anggota Masyumi) dan Kepala Polisi Soekanto Tjokrodiatmodjo, sedangkan di pihak Amerika Serikat hadir Gerald Hopkins (penasihat politik Presiden Truman), Merle Cochran (pengganti Graham yang mewakili Amerika Serikat dalam Komisi Jasa Baik PBB). Dalam pertemuan Sarangan, yang belakangan dikenal sebagai "Perundingan Sarangan", diberitakan bahwa Pemerintah Republik Indonesia menyetujui Red Drive Proposal (proposal pembasmian kelompok merah). Dengan bantuan Arturo Campbell, Soekanto berangkat ke Amerika Serikat guna menerima bantuan untuk Kepolisian RI. Campbell yang menyandang gelar resmi Atase Konsuler pada Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jakarta, sesungguhnya adalah anggota Central Intelligence Agency (CIA), badan intelijen Amerika Serikat.
Selain itu dihembuskan isu bahwa Soemarsoso, tokoh Pesindo, pada 18 September 1948 melalui radio di Madiun telah mengumumkan terbentuknya Pemerintah Front Nasional bagi Karesidenan Madiun. Namun Soemarsono kemudian membantah tuduhan yang mengatakan bahwa pada dia mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah (FND) dan telah terjadi pemberontakan PKI. Dia mengatakan bahwa FND dibentuk sebagai perlawanan terhadap ancaman dari pemerintah pusat.
Pada 19 September 1948, Presiden Soekarno dalam pidato yang disiarkan melalui radio menyerukan kepada seluruh rakyat Indonesia, untuk memilih: Muso atau Soekarno-Hatta. Maka pecahlah konflik bersenjata, yang pada waktu itu disebut sebagai Madiun Affairs (Peristiwa Madiun), dan di zaman Orde Baru kemudian dinyatakan sebagai pemberontakan PKI.
Akhir konflik
Kekuatan pasukan pendukung Muso digempur dari dua arah: Dari barat oleh pasukan Divisi II di bawah pimpinan Kolonel Gatot Soebroto, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Wilayah II (Semarang-Surakarta) tanggal 15 September 1948, serta pasukan dari Divisi Siliwangi, sedangkan dari timur diserang oleh pasukan dari Divisi I, di bawah pimpinan Kolonel Soengkono, yang diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, tanggal 19 September 1948, serta pasukan Mobile Brigade Besar (MBB) Jawa Timur, di bawah pimpinan M. Yasin. Panglima Besar Soedirman menyampaikan kepada pemerintah, bahwa TNI dapat menumpas pasukan-pasukan pendukung Muso dalam waktu 2 minggu. Memang benar, kekuatan inti pasukan-pasukan pendukung Muso dapat dihancurkan dalam waktu singkat.
Tanggal 30 September 1948, kota Madiun dapat dikuasai seluruhnya. Pasukan Republik yang datang dari arah timur dan pasukan yang datang dari arah barat, bertemu di Hotel Merdeka di Madiun. Namun pimpinan kelompok kiri beserta beberapa pasukan pendukung mereka, lolos dan melarikan diri ke beberapa arah, sehingga tidak dapat segera ditangkap. Baru pada akhir bulan November 1948 seluruh pimpinan dan pasukan pendukung Muso tewas atau dapat ditangkap. Sebelas pimpinan kelompok kiri, termasuk Amir Syarifuddin Harahap, mantan Perdana Menteri RI, dieksekusi pada 20 Desember 1948 di makam Ngalihan, atas perintah Kol. Gatot Subroto.


Peristiwa Madiun 1948, Konspirasi Politik Kaum Kolonialis / Imperialis Melikuidasi RI
Pada tanggal 29 Januari 1948 Kabinet Hatta dibentuk dengan programnya:Melaksanakan hasil persetujuan Renville. Mempercepat terbentuknya Negara Indonesia Serikat (berserikat juga dengan Belanda) Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (RERA) Pembangunan.Pemerintahan Hatta inilah yang dinilai oleh kaum kiri sebagai pemerintahan yang paling tunduk dan akan menyerahkan kedaulatan RI kepada Belanda, sehingga timbul ketidakpuasan yang luas terutama karena ada rencana dari Hatta untuk merasionalisasi TNI kemudian membentuk tentara federal bekerjasama dengan Belanda.
 Mulai bulan Februari 1948 Kolonel A.H. Nasution bersama Divisi Siliwangi hijrah dari Jawa Barat menuju Yogyakarta sebagai pelaksanaan dari perjanjian Renville kemudian ditempatkan tersebar di wilayah Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur khususnya di daerah yang kekuatan kaum kirinya cukup kuat seperti di Solo dan Madiun yang dimaksudkan untuk persiapan membersihkan kaum kiri tersebut. Pasukan Siliwangi tersebut segera menjadi pasukan elite pemerintah Hatta dengan kelengkapan tempur yang lebih baik sehingga timbul iri hati pada pasukan di luar Divisi Siliwangi.- Pada bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Rasionalisasi dan Rekonstruksi.
 Pada bulan Mei 1948 di Solo tentara Divisi Panembahan Senopati melakukan demonstrasi menentang RERA.Pada tanggal 2 Juli 1948 komandan Divisi Panembahan Senopati Kolonel Sutarto dibunuh oleh tembakan senjata api orang tak dikenal, kemudian diikuti dengan penculikan dan pembunuhan terhadap beberapa orang kiri antara lain Slamet Widjaya dan Pardio serta beberapa perwira dari Divisi Panembahan Senopati a.l. Mayor Esmara Sugeng, Kapten Sutarto, Kapten Suradi, Kapten Supardi dan Kapten Mudjono diduga kuat dilakukan oleh Divisi Siliwangi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Hatta, walaupun kemudian pembunuh Kolonel Sutarto ditangkap tetapi pemerintah tidak mengadilinya bahkan oleh Jaksa Agung ketika itu malahan dibebaskan dengan alasan tidak dapat dituntut secara hukum (yuridisch staatsrechtelijk). Penculikan dan pembunuhan ini terus berlanjut terhadap orang-orang kiri maupun anggota Divisi Panembahan Senopati sehingga menimbulkan keresahan dan suasana saling curiga-mencurigai dan ketegangan tinggi.
 Pada tanggal 21 Juli 1948 diadakan pertemuan rahasia di Sarangan Jawa Timur antara Amerika Serikat yang diwakili oleh Gerard Hopkins (penasihat urusan politik luar negeri) dan Merle Cochran (Wakil AS di Komisi Jasa-Jasa Baik PBB) dengan 5 orang Indonesia yaitu: Wakil Presiden Moh. Hatta, Natsir, Sukiman, R.S. Sukamto (Kapolri) dan Mohammad Rum yang menghasilkan rencana kompromi berupa likuidasi bidang ekonomi, politik luar negeri, UUD 45 dan juga Rekonstruksi dan Rasionalisasi (RERA) di bidang Angkatan Perang dengan menyingkirkan orang-orang (pasukan) yang dicap sebagai golongan kiri/merah, dan ini terkenal dengan Red Drive Proposal atau usulan pembasmian kaum kiri.
 Pada tanggal 13 September 1948 terjadilah pertempuran antara Divisi Panembahan Senopati dibantu ALRI melawan Divisi Siliwangi yang diperkuat pasukan-pasukan lain yang didatangkan ke Solo oleh pemerintah Hatta.- Pada tanggal 15 September 1948 dilakukan gencatan senjata yang disaksikan juga oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman, petinggi-petinggi militer RI dan juga Residen Sudiro. Divisi Panembahan Senopati mentaati gencatan sejata namun lawan terus melakukan aksi-aksi yang agresif dan destruktif. Sementara itu sebagian anggota Politbiro CC PKI yang tinggal di Yogyakarta memutuskan untuk berusaha keras agar pertempuran di Solo dilokalisasi dan mengutus Suripno untuk menyampaikan hal tersebut kepada Muso, Amir Syarifudin dan lain-lain yang sedang keliling Jawa. Rombongan Muso menyetujui putusan tersebut. Jadi dalam hal ini kebijaksanaan PKI sesuai atau sejalan dan menunjang kebijakan Panglima Besar Jenderal Soedirman. Sementara itu penculikan-penculikan dan pembunuhan terhadap orang-orang dan personil militer golongan kiri semakin mengganas dengan puncaknya pada tanggal 16 September 1948 markas Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) di Jalan Singosaren Solo diserbu dan diduduki oleh kaki tangan Hatta (Siliwangi) sehingga pertempuran Solo semakin menghebat.- Aksi pembersihan orang-orang kiri ini tidak hanya terjadi di Solo tetapi meluas ke Madiun dan daerah lainnya dan hasil RERA ini TNI yang tadinya berkekuatan 400.000 hanya tinggal 57.000. Sementara itu ancaman Belanda masih di depan mata terbukti kemudian dengan Agresi Militer Belanda ke II. Oleh pemerintah Hatta didatangkanlah ke Madiun pasukan-pasukan Siliwangi yang langsung menduduki beberapa pabrik gula, mengadakan latihan-latihan militer serta menindas para buruh pabrik gula dengan membunuh seorang anggota Serikat Buruh Gula bernama Wiro Sudarmo serta melakukan pemukulan-pemukulan dan intimidasi terhadap para buruh. Penempatan pasukan ini tidak dilaporkan kepada komandan Teritorial Militer setempat sehingga menimbulkan keteganga dan kemudian kesatuan militer setempat yaitu Brigade 29 atas persetujuan Komandan Teritorial Militer setempat bergerak melucuti pasukan Siliwangi.
 Dalam keadaan panas, kacau dan tak terkendali itu, karena Residen Madiun tidak ada di tempat dan Walikota sakit, maka pada tanggal 19 September 1948 Front Demokrasi Rakyat (FDR) mengambil prakarsa untuk mengangkat Wakil Walikota Madiun Supardi sebagai pejabat residen sementara dan pengangkatan ini telah disetujui baik oleh pembesar-pembesar sipil maupun militer dan dilaporkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta serta dimintakan petunjuk lebih lanjut. Peristiwa inilah yang mengawali apa yang disebut sebagai “Peristiwa Madiun “.
 Pada tanggal 19 September 1948 malam hari pemerintah Hatta menuduh telah terjadi “Pemberontakan PKI” sehingga dikerahkanlah kekuatan bersenjata oleh Hatta untuk menumpas dan menimbulkan konflik horisontal dengan korban ribuan orang terbunuh, baik golongan kiri, tentara maupun rakyat golongan lain. Pada tanggal 14 Desember 1948 sebelas orang pemimpin dan anggota PKI dibunuh di Dukuh Ngalihan Kelurahan Halung Kabupaten Karanganyar Karesidenan Surakarta pada jam 23.30 yaitu: 1. Amir Syarifudin, 2. Suripno, 3. Maruto Darusman, 4. Sarjono, 5. Dokosuyono, 6. Oei Gee Hwat, 7. Haryono, 8. Katamhadi, 9. Sukarno, 10. Ronomarsono, 11. D. Mangku. Sementara itu lebih kurang 36.000 aktivis revolusioner lainnya ditangkap dimasukkan dalam penjara dan sebagian dibunuh tanpa proses hukum a.l. di penjara Magelang 31 anggota dan simpatisan PKI, di Kediri berpuluh-puluh orang termasuk Dr. Rustam, anggota Fraksi PKI dan BP KNIP, di Pati antara lain Dr. Wiroreno dan banyak lagi yang lainnya.
 Berdasarkan fakta pada saat Amir Syarifudin menjadi Perdana Menteri dan memimpin pemerintahan, karena dikhianati dalam Perjanjian Renville maka secara kesatria dan demokratis menyerahkan kembali mandat pemerintahan kepada Presiden Soekarno, sehingga sangat naif menuduhnya bersama golongan kiri melakukan pemberontakan dan membentuk pemerintahan Soviet-Madiun. Amir Syarifudin bekas Perdana Menteri Republik Indonesia yang juga berada di kota itu (Madiun) telah membantah segala sesuatu yang disiarkan dari Yogyakarta pada masa itu. Penjelasannya melalui radio, “Undang-Undang Dasar kami adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, bendera kami adalah Merah Putih dan lagu kebangsaan tidak lain dari Indonesia Raya”, seperti disiarkan pada tanggal 20 September 1948 oleh Aneta, kantor berita Belanda di Indonesia. Bahwa kolaborasi antara pemerintah Hatta dengan pihak kolonialis Belanda maupun imperialis Amerika Serikat dengan sekutu-sekutunya telah berhasil memecah belah persatuan dan kesatuan serta membelokkan jalannya revolusi Indonesia.
 Pada tanggal 19 Desember 1948 itu pula Belanda menyerbu dan menduduki Yogyakarta dengan perlengkapan perang bantuan Amerika, hal itu terjadi setelah politik Red Drive Proposal sukses dilaksanakan oleh pemerintah Hatta demi tercapainnya persetujuan Roem-Royen yang merugikan RI yang dilanjukan dengan terselenggaranya Konferensi Meja Bunda (KMB) yang dimulai pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949, dan kemudian lahirlah Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan konstitusi RIS-nya dan hasil yang sangat merugikan Indonesia a.l. Irian Barat masih di tangan Belanda dan hutang Hindia Belanda sebesar US$1,13 milliar menjadi tanggungan RI (hutang ini antara lain adalah biaya untuk memerangi RI), juga terjadi penurunan pangkat dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) bila menjadi APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat).
 Pada tahun 1954, meskipun sudah kadaluwarsa, Aidit dihadapkan pada pengadilan di Jakarta mengenai Peristiwa Madiun. Dalam hal ini PKI dituduh mengadakan kudeta. Dasarnya adalah pidato Hatta yang menyatakan entah benar entah tidak bahwa PKI mendirikan negara Soviet di Madiun dengan mengangkat wakil walikota Supardi jadi Residen sementara untuk mengisi kekosongan. Ini dianggap melanggar KUHP pasal 310 dan pasal 311. Dalam persidangan Aidit, diminta agar Moh. Hatta tampil sebagai saksi. Jaksa menyatakan keberatan atas pembuktian yang akan diajukan oleh Aidit, maka jaksa harus mencabut tuduhan pasal-pasal tersebut di atas. Pada akhirnya keberatan jaksa dan tuduhan terhadap Aidit melanggar pasal 310 dan pasal 311 KUHP dicabut. Karenanya Aidit tak dapat dituntut dan bebas tanpa syarat.Kesimpulan dari peristiwa Madiun : Pihak imperialis kolonialis pimpinan Amerika Serikat dalam menerapkan politik pembersihan kaum kiri (Red Drive Proposal) di Indonesia sebagai bagian makro politiknya untuk membendung komunisme, telah mempengaruhi pemerintah Hatta agar mau membersihkan orang-orang kiri (komunisme) dari pemerintahan, terutama dari Angkatan Perang sebagai salah satu syarat mutlak pengakuan negara Republik Indonesia oleh dunia internasional (pihak barat). Pemerintah Hatta menerima dan melaksanakan tawaran tersebut antara lain dengan membuat program Reorganisasi dan Rasionalisasi (RERA) di lingkungan angkatan perang yang kemudian menimbulkan gelombang penolakan yang luas. Untuk meredam penolakan tersebut dilakukan upaya-upaya yang sistematis, antara lain dengan melakukan teror berupa pembunuhan, penculikan, penahanan, dan intimidasi lainnya terutama kepada kaum kiri, yang kemudian dikenal dengan Peristiwa Solo. Peristiwa Madiun sama sekali bukanlah pemberontakan PKI apalagi fitnah bahwa PKI telah mendirikan Negara Soviet Madiun, tetapi merupakan rekayasa jahat pemerintah Hatta guna mendapatkan momen (kondisi dan situasi) yang tepat untuk dapat digunakan sebagai dalih (dasar) untuk menyingkirkan (membasmi) golongan kiri dari pemerintahan maupun angkatan perang, yang kemudian mendapat perlawanan dari rakyat yang konsekuen anti kolonialis/imperialis.

DARUL ISLAM
NEGARA ISLAM INDONESIA
Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah gerakan politik yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949 (ditulis sebagai 12 Syawal 1368 dalam kalender Hijriyah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya dan ada di masa perang dengan tentara Kerajaan Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa "Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan Hadits". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-undang yang berlandaskan syari'at Islam, dan penolakan yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir", sesuai dalam Qur'aan Surah 5. Al-Maidah, ayat 50. Dalam perkembangannya, DI menyebar hingga di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat (berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah), Sulawesi Selatan dan Aceh.
Gerakan DI/TII SM Kartosuwirjo
Penandatanganan Perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 sebagai salah satu upaya untuk mengakhiri pertikaian Indonesia Belanda, ternyata telah menimbulkan dampak baru terhadap fase perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan proklamasi kemerdekaan yang dikumandangkan oleh Soekarno Hatta. Penandatangan perjanjian tersebut tidak saja mempunyai akibat di bidang politik, melainkan juga berpengaruh di bidang militer Negara RI, sebagai konsekwensi logis dari hasil kristalisasi nilai-nilai pertemuan antara pihak-pihak yang mengadakan perundingan.
Kondisi ini dijelaskan oleh Disjarahad (1982) bahwa di dalam bidang politik pemerintahan RI dapat kita lihat dengan jelas. Daerah RI sesuai dengan keputusan Linggajati hanya meliputi pulau Jawa, Sumatra dan Madura semakin dipersempit, lebih-lebih lagi beberapa kota besar dari ketiga pulau tersebut di atas diduduki Belanda. Sedangkan dalam bidang militer, pasukan-pasukan RI harus mundur dari kantong-kantong perjuangan menuju wilayah yang masih dikuasai republic. Hal ini senada dengan pernyataan Kahin (1995) bahwa pasukan-pasukan terbaik republik harus meninggalkan banyak kantong gerilya yang mereka duduki di balik garis Van Mook dan pindah ke wlayah yang masih dikuasi oleh republic.
Menurut perjanjian Renville, daerah Jawa Barat dala hal ini adalah daerah yang terletak di luar wilayah RI. Hijrahnya pasukan Siliwangi dari wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda menuju wilayah Jawa Tengah yang dikuasai RI, telah menimbulkan adanya suatu kekosongan pemerintahan RI di Jawa Barat. Kondisi inilah yang kemudian dijadikan sebuah kesempatan oleh apa yang dinamakan Gerakan DI/TII untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, Anne Marie The (1964) menyatakan bahwa masa vacuum (kekosongan) pemerintah RI di Jawa Barat tidak disia-siakan oleh Kartosuwirjo untuk menjadikan idenya suatu kenyataan. Sedangkan Kahin menyatakan bahwa akhirnya di Jawa Barat, di daerah yang terletak di luar wilayah menurut ketentuan Perjanjian Renville ada suatu organisasi politik yang baru terbentuk tapi kuat dan juga mencita-citakan kemerekaan republic. Organisasi tersebut tidak mengakui Perjanjian Renville dan tidak mau berperang melawan Belanda, dikenal dengan nama Darul Islam.
Darul Islam (dalam bahasa Arab dar al-Islam), secara harfiah berarti ”rumah” atau “keluarga” islam, yaitu “dunia atau wilayah Islam”. Yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah bagian dari wilayah Islam yang di dalamnya keyakinan dan pelaksanaan syariat Islam serta peraturannya diwajibakan. Lawannya adalah Darul Harb, yakni “wilayah perang, dunia kafir”, yang berangsur-angsur akan dimasukkan ke dalam dar al Islam.
Gerakan DI/TII yang dipimpin oleh SM Kartosuwirjo ini memang merupakan suatu gerakan yang menggunakan motif-motif ideology agama sebagai dasar penggeraknya, yaitu mendirikan Negara Islam Indonesia. Adapun daerah atau tempat Gerakan DI/TII yang pertama dimulai di daerah pegunungan di Jawa Barat, yang membentang sekitar Bandung dan meluas sampai ke sebelah timur perbatasan Jawa Tengah, yang kemudian menyebar ke bagian-bagian lain di Indonesia. Perbedaan-perbedaan ideologis mengenai dasar Negara sebenarnya telag ada sebelum proklamasi Negara Islam Indonesia itu sendiri. Namun adanya musuh bersama, dalam hal ini Belanda, mendorong para pemimpin bangsa Indonesia untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan ideologis tersebut. Van Dijk (1995) menyatakan bahwa melucuti kesatuan-kesatuan Jepang yang mundur, menentang campur tangan Inggris dan menentang kembalinya Belanda meminta perhatian setiap orang sepenuhnya dan untuk sementara menggeser perbedaan-perbedaan ideologis ke latar belakang.
Kristalisasi dari gerakan ini semakin nyata setelah ditanda tanganinya Perjanjian Renville. Adapun upaya-upaya yang dilakukan SM. Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam, pertama-tama adalah dengan mengadakan Konferensi di Cisayong Tasikmalaya Selatan tanggal 10-11 Februari 1948.  Keputusan  yang diambil adalah merubah system ideology Islam dari bentuk kepartaian menjadi bentuk kenegaraan, yaitu menjadikan Islam sebagai ideology Negara. Konferensi kedua diadakan di Cijoho tanggal 1 Mei 1948, dimana hasil yang dicapai adalah apa yang disebut Ketatanegaraan Islam, yaitu dibentuknya suatu Dewan Imamah yang dipimpin langsung oleh SM. Kartosuwirjo. Selain itu disusun semacam UUD yang disebut Kanun Azazi, yang menyatakan pembentukan Negara Islam Indonesia dengan hokum tertinggi Al-Quran dan Hadist (PInardi 1964). Adanya Aksi Polisional Belanda yang melancarkan Agresi Militer II tanggal 18 Desemer 1948, tampaknya semakin mempercepat kea rah pembentukan Negara Islam Indonesia, dimana Agresi MIliter Belanda II tersebut telah berhasil merebut ibukota RI Yogyakarta dan menawan Presiden, Wapres beserta sejumlah  Menteri. Momentum inilah yang kemudian dianggap sebagai kehancuran RI, dan kesempatan tersebut digunakan untuk membentuk Negara Islam Indonesia yang diproklamirkan tanggal 7 Agustus 1949.  Peristiwa  tersebut merupakan titik kulminasi subversi dalam negeri pada masa itu.
Satu hal yang menarik dari gerakan ini dibandingkan dengan gerakan separatisme lainnya, adalah perkembangannya yang cukup lama di atas wilayah yang cukup luas. Keuletan ini tidak terlepas dari factor-faktor yang mempengaruhi munculnya gerakan DI/TII, yang kemudian mendorong sebagian rakyat untuk ikut mendukung gerakan itu, yang akhirnya memberi kekuatan dan keuletan pada Gerakan DI/TII selama hampir 13 tahun.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, gerakan in ternyata hanya menimbulkan penderitaan dan penindasan terhadap rakyat. Kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada rakyat seringkali menjadi sumber penderitaan dari kekejian yang semena-mena. Kahin (1995) dalam hal ini menyatakan bahwa kerja sama perani dengan Darul Islam makin lama makin disebabkan oleh terror yang dilakukan Darul Islam dan petani tidak mendukung organisasi tersebut karena nasonalisme dan agama. Namun rakyat kota relative lebh reada. Lebih buruk keadaannya di pedalaman, tempat desa-desa diserbu, dalam beberapa daerah sangat sering barang-barang dan hasil panen dirampas, dan rumah, jembatan, mesjid dan lumbung padi dibakar atau dimusnahkan. Tidak sedikit penderitaan yang ditanggung rakyat Jawa Barat khususnya, karena gerakan ini melakukan terror terhadap mereka. Untuk kepentingan gerakannya mereka merampok rakyat yang tinggal dipelosok-pelosok terpencil di lereng gunung, sehingga menurut Ricklef (1995) sulit membedakan gerakan DI dari tindak perampokan, pemerasan, dan terorisme dalam ukuran luas. Kondisi yang demikian mau tidak mau menjadi suatu masalah yang seriusdalam kehidupan bangsa Indonesia. Kekacauan-kekacauan politik yang terjadi pada masa itu, ternyata telah menimbulkan dampak yang luas dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang lain seperti social, budaya, dan ekonomi (Ismaun 1997).
Gerakan DI/TII akhirnya tetap menjadi sebuah pemberontakan daerah, sampai akhirnya SM. Kartosuwirjo tertangkap tanggal 4 JUni 1962 dalam sebuah operasi yang bernama Pagar Betis. Dengan penangkapan dan pelaksanaan hukuman mati terhadap SM. Kartosuwirjo, maka berakhirlah pemberontakan yang terorganisir di Jawa Barat selama lebih dari 10 tahun. Namun hal itu tidak cukup membuat peristiwa tersebut mudah dilupakan, katena walau bagaimanapun gerakan ini tidak saja menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat biasa, melainkan juga sebuah tragedy dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia menegakkan kehidupan berbangsa dan bernegara

Gerakan DI/TII Daud Beureueh
Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20 September 1953.
Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh" sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.
Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.

Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan DI/TII Amir fatah
Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo.
Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan delam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.

REPUBLIK MALUKU SELATAN
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda
Sejarah
Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang di antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu. Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah. Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS (bermimpi) tidak menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh [2].
Pemimpin
Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans Tutuhatunewa turun pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda. Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Dukungan
Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu. Demikian saat itu RMS.[rujukan?] berbeda dengan sekarang, sudah banyak pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku kontemporer melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.
RMS di Belanda
Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda. Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai "pengungsian para pendukung RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api. Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.
Kerusuhan
Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror.

ANDI AZIS
Peristiwa Andi Azis Adalah upaya pemberontakan yang dilakukan oleh Andi Azis, seorang bekas perwira KNIL untuk mempertahankan keberdaan Negara Indonesia Timur, dan enggan Kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Awal gerakan
Andi Azis adalah seorang bekas Perwira KNIL yang bergabung Ke APRIS. Ia diterima masuk APRIS. Pada hari pelantikanya disaksikan oleh Letkol Mokoginta, Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah itu ia menggerakan pasukannya menyerang markas TNI dan menawan sejumlah perwira TNI termasuk Mokoginta Setelah menguasai Makassar, ia menyatakan bahwa Negara Indonesia Timur harus dipertahankan. Ia menuntut agar anggota APRIS bekas KNIL bertanggung jawab atas keamanan di wilayah Indonesia Timur Pada 8 April 1950 pemerintah mengultimatum yang isinya Andi Azis untuk datang ke Jakarta dan mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan Waktu 4 x 24 jam namun tidak diindahkan. Setelah batas waktu terlewati, pemerintah mengirimkan pasukan di bawah Kolonel Alex Kawilarang dan hasilnya Pada Tanggal 15 April 1950 ia datang ke Jakarta untuk Menyerahkan diri.
Pertempuran Makassar 1950
Usai Penyerahan Kedaulatan (Souvereniteit Overdracht) pada tanggal 27 Desember 1949, dalam negeri Republik Indonesia Serikat mulai bergelora. Serpihan ledakan bom waktu peninggalan Belanda mulai menunjukkan akibatnya. Pada umumnya serpihan tersebut mengisyaratkan tiga hal. Pertama, ketakutan antek tentara Belanda yang tergabung dalam KNIL, yang bertanya-tanya akan bagaimana nasib mereka setelah penyerahan kedaulatan tersebut. Kedua, terperangkapnya para pimpinan tentara yang jumlahnya cukup banyak dalam penentuan sikap dan ideologi mereka. Utamanya para pimpinan militer didikan dan binaan Belanda. Terahir, masih banyaknya terjadi dualisme kepemimpinan dalam kelompok ketentaraan Indonesia antara kelompok APRIS dengan kelompok pejoang gerilya. Walaupun sejak bulan Juni 1947 Pemerintah RI telah mengeluarkan kebijaksanaan bahwa segenap badan kelaskaran baik yang tergabung dalam biro perjoangan maupun yang lepas berada dalam satu wadah dan satu komando yaitu Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ketiga hal tersebut semakin mengental pada daerah yang masih kuat pengaruh Belandanya.
 Salah satu daerah dimaksud adalah wilayah Sulawesi Selatan. Tiga peristiwa di tahun 50 yang terjadi dikota Makassar dan wilayah Sulawesi Selatan memperlihatkan kekentalan tersebut. Peristiwa pertama terjadi pada tanggal 5 April 1950 yang terkenal sebagai peristiwa Andi Azis. Peristiwa kedua yang terjadi pada tanggal 15 Mei 1950 dan ketiga yang terjadi pada tanggal 5 Agustus 1950. Dalam ketiga peristiwa tersebut yang menjadi penyebabnya selalu permasalahan mengenai kegamangan tentara KNIL akan nasib mereka. Sedangkan 2 peristiwa terahir menjadi tolak ukur dari kegamangan tersebut. Menteri Pertahanan RIS, Sri Sultan Hamengkubuwono IX dalam pertemuan pers mengatakan bahwa tidak heran dengan terjadinya peristiwa paling ahir pada tanggal 5 Agustus 1950 (Sin Po 8/8/50). Rentetan ketiga peristiwa di Makassar tersebut agaknya selalu bermula dari upaya-upaya para anggota KNIL (kemudian dilebur dalam KL) untuk mengacaukan kehidupan rakyat di Makassar sekaligus berupaya untuk memancing tentara APRIS memulai serangan kepada mereka. Tidak kalah ikut menentukan suasana panas dikota Makassar adalah persoalan tuntutan masyarakat untuk segera menuju negara kesatuan. Tentu saja gerakan rakyat ini tidak saja terjadi di Indonesia Timur, tapi juga di Jawa Timur, Pasundan, Sumatera Timur dan berbagai daerah lainnya.
Pemerintah RIS dalam hal ini atau setidaknya banyak fihak dalam kabinet dan Parlemen sangat memberi angin menuju Negara Kesatuan.Rencana kedatangan tentara APRIS ke Makassar nampaknya terlalu dibesar-besarkan semata-mata karena rasa takut akan menguntungkan fihak pemerintah pusat (RIS). Oleh karena itu bukan tidak mungkin pemberontakan Andi Aziz adalah rekayasa politik fihak KNIL akibat provokasi tokoh-tokoh anti RIS dalam pemerintahan Negara Indonesia Timur. Andi Aziz sendiri diyakini banyak fihak adalah seorang anggota militer dengan pribadi yang baik. Namun dalam sekala kesatuan militer KNIL di Sulawesi Selatan dirinya lebih condong sebagai boneka. Tampak bahwa Kolonel Schotborg dan jakasa agung NIT Sumokil adalah pengendali utama kekuatan KNIL dikota Makassar. Dari hasil pemeriksaan Aziz dalam sidang militer yang digelar tiga tahun kemudian (1953), saksi mantan Presiden NIT Sukawati dan Let.Kol Mokoginta tidak banyak meringankan terdakwa yang pada ahirnya dihukum penjara selama 14 tahun. Dalam persidangan tersebut terdakwa mengaku bersalah, tidak akan naik appel tapi merencanakan minta grasi kepada Presiden. Ketika sedang berlangsungnya pemberontakan Andi Aziz di Makassar, untuk mengantisipasinya Pemerintah RIS di Jakarta telah membentuk pasukan gabungan Expedisi Indonesia Timur. Pasukan ini terdiri dari batalyon ADRIS dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur didukung oleh AURIS, ALRIS dan Kepolisian.
Sebagai pimpinan Komando ditunjuk Kolonel A.E Kawilarang Panglima TT Sumatera Utara. Ketika pasukan besar ini sedang dipersiapkan keberangkatannya, telah lebih dahulu diberangkatkan batalyon Worang yang tiba di Sulawesi Selatan pada tanggal 11 April 1950. Meskipun Worang tidak dapat langsung mendarat di Makassar tapi di Jeneponto yang letaknya 100 km keselatan, rakyat menyambutnya dengan sukacita. Sebuah foto yang disiarkan majalah Merdeka terbitan 13 Mei 1950 menggambarkan hal tersebut. Terlihat 3 orang anggota tentara APRIS yang berjalan menuju kerumunan massa dimana dilatar belakang tampak spanduk bertuliskan “ SELAMAT DATANG TENTARA KITA”. Pertempuran besar memang tidak terjadi antara pasukan APRIS Worang dengan KNIL di Makassar bahkan Andi Aziz ahirnya mau menyerah guna memenuhi panggilan Pemerintah Pusat di Jakarta meskipun telah melampaui batas waktu 4 X 24 Jam untuk mendapat pengampunan. Menyerahnya Andi Azis kemungkinan besar karena kekuatan pendukung dibelakangnya sudah tidak ada lagi yaitu Sumokil yang sudah terbang ke Ambon via Menado dan Kolonel Schotborg yang siap dimutasi untuk pulang ke Belanda. Setelah Andi Aziz menyerah, banyak tentara dari bekas infantri KNIL yang tidak tahu lagi siapa pemimpin mereka dan bagaimana nasib mereka selanjutnya. Sementara untuk bergabung dengan APRIS belum ada ketentuan karena belum ada peraturan resmi yang akan membubarkan KNIL (KNIL bubar tgl 27 Juli 1950). Tak heran mereka kemudian memprovokasi rakyat dan kemudian memulai serangan terhadap pos-pos tentara APRIS.
Menjelang pertempuran yang terjadi antara pasukan KNIL dengan pasukan APRIS pada tanggal 15 Mei 1950 bermula ketika banyak anggota KNIL menurunkan bendera merah putih disekitar kampemen tempat anggota KNIL berdiam. Peristiwa penurunan bendera Sang Saka merah Putih itu terjadi bersamaan degan tibanya Presiden RIS Soekarno dikota Makasasar yang memulai lawatannya ke Sulawesi. Setelah Merah Putih diturunkan berlanjut dengan coretan tembok rumah rakyat dan spanduk disekitar kampemen KNIL berisi tulisan yang memojokkan Negara Republik Indonesia Serikat. Peristiwa ini juga kemudian berkaitan dengan ditembaknya seorang Perwira APRIS oleh tentara KNIL. Peristiwa diatas memicu ketegangan yang memunculkan ketidak sabaran anggota APRIS terhadap tindakan dan ulah provokasi KNIL. Rakyat yang diprovokasi tidak sabar menunggu komando untuk menyerang KNIL. Pasukan pejoang gerilya dibawah batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah mempersiapkan diri untuk hal tersebut. Sementara tentara KNIL sudah semakin mengeras upayanya untuk menghancurkan kekuatan APRIS untuk menguasai Makassar. Maka pada tanggal 15 Mei 1950 terjadilah pertempuran besar dikota Makassar. Pasukan KNIL menyerbu barak-barak APRIS, membakar rumah rakyat, menghancurkan rumah dan toko-toko didaerah pecinaan. Sekitar Makassar penuh dengan api, bau anyir darah dan berbagai desing senjata.
Serangan KNIL ini memang sudah diwaspadai APRIS. Tentara APRIS kemudian membalas serangan dan bersamaan dengan itu pasukan pejoang gerilya dari Batalyon Lipang Bajeng dan Harimau Indonesia telah turun dari dua kota pangkalan mereka di Polobangkeng dan Pallangga yang terletak disekitar kota Makassar. Seketika suasana medan laga telah berubah. Pasukan APRIS bersama dua batalyon pejoang tersebut dan rakyat Makassar menyerang balik tentara KNIL. Dalam keadaan demikian inilah Kolonel AH Nasution selaku Kepala Staf ADRIS bersama dengan Kolonel Pereira selaku Wakil Kepala Staf KNIL tiba di Makassar. Kedua pucuk pimpinan tentara ini kemudian meninjau keadaan dan berunding. Pada tgl 18 Mei 1950 wakil dari APRIS yaitu Overste Sentot Iskandardinata dan Kapten Leo Lopolisa berunding dengan wakil dari KNIL yaitu Kolonel Scotborg, Overste Musch dan Overste Theyman yang disaksikan oleh Kolonel AH Nasution serta Kolonel AJA Pereira. Perundingan menghasilkan dua keputusan penting yaitu dibuatnya garis demarkasi serta tidak diperbolehkannya kedua tentara APRIS dan KNIL untuk mendekati dalam jarak 50 meter. Untuk sementara keadaan dapat diamankan. Perundingan pertama ini detailnya menghasilkan persetujuan untuk melokalisir tentara KNIL ditiga tempat . Namun rupanya persetujuan dimaksud tidak ditaati. Antara menerangkannya sebagai berikut : Tetapi persetujuan tinggal persetujuan. Maka pada hari selasa pertempuran mulai lagi berjalan dengan sengit. Pertempuran yang paling sengit terjadi diempat tempat. Yaitu tangsi KNIL di Mariso, sekitar tangsi KNIL Matoangin, Boomstraat, sekitar Stafkwartier KNIL di Hogepad. Pertempuran sudah berjalan tiga hari tiga malam lamanya tetapi belum juga berhenti (Kempen 1953:302).
Pada ahir Juli 1950 pasukan KNIL dibubarkan. Muncul permasalahan baru. Mau dikemanakan para prajurit ex KNIL tersebut. Sebagian memang dilebur kedalam KL, sebagian lagi menunggu untuk diterima sebagai anggota APRIS. Namun masa penantian ini secara psikologis amat merisaukan para anggota tentara KNIL. Pertama mereka dianggap rakyat sebagai kaki tangan Kolonial Belanda, sementara disisi lain bekas majikannya tidak mengindahkan nasib mereka. Tmbullah usaha provokasi baru yang antara lain dilukiskan sebagai berikut : “Sesudah anggota KNIL di Makassar memperoleh kedudukan sementara sebagai anggota KL pada tanggal 26 Juli 1950 keadaan tidak bertambah baik, sebaliknya mereka terus menerus menimbulkan kesulitan-kesulitan. Mereka antara lain menentang dengan kekerasan usaha pimpinan tentara Belanda untuk menyerahkan alat tentaranya kepada tentara Belanda. Mereka sering menganiaya penduduk. Bendera-bendera kebangsaan (maksudnya Merah Putih) disekitar kampemen mereka turunkan dan ahir-ahir ini mereka dengan kejam membunuh perwira Indonesia yang bereda dekat kampemen ketika sedang mengunjungi keluarganya” (Antara 12/8/1950). Berbagai tindakan provokasi yang dilakukan para eks KNIL ternyata tidak mendapat tanggapan emosinal oleh APRIS. Sehingga terkesan APRIS terlalu sabar. Kesan sabar ini tertimpakan pada pucuk pimpinan APRIS Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur Kolonel AE Kawilarang.
Pada saat itu Antara menulis : “Kemaren jam 17.00 Kawilarang telah mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil partai dan organisasi di Makassar. Dikatakannya bahwa ia mengerti akan kekecewaan rakyat terhadap tindakan APRIS yang oleh rakyat dianggap terlalu sabar dalam menghadapi segala percobaan (masudnya dari fihak KNIL) tetapi dikatakannya seterusnya bahwa dalam hal ini orang harus ingat bahwa APRIS adalah bagian resmi dari Pemerintah sedangkan KNIL dipandang sebagai tentara tamu selama mereka belum diorganisir dan semua itu terikat dalam perjanjian KMB yang harus dihormati. Kami cukup kuat dan pasti dapat menyelesaikan segala sesuatu dengan senjata tetapi dengan demikian keadaan akan bertambah kacau dan nama negara kita dimata dunia akan surut.” (Antara 3/6/1950). Dua hal yang antagonis antara provokasi yang dilakukan tentara KNIL dan kesabaran pucuk pimpinan APRIS tersebut menimbulkan dilema dalam menetapkan kebijaksanaan yang akan diambil APRIS selanjutnya. Apalagi kemudian rakyat Makassar semakin mempertajam sikap mereka terhadap tentara KNIL dengan melakukan pemboikotan seluruh kegiatan perdagangan dari dan ke markas-markas KNIL. Suasana tegang ini ibarat bisul yang akan meletus sewaktu-waktu.
Agar APRIS tidak keliru mengambil langkah dalam mengantisipasi ketegangan yang semakin tinggi pada tgl 5 Agustus 1950, APRIS setuju untuk mengadakan perundingan dengan wakil militer Belanda di Indonesia. Pertemuan yang diikuti oleh tiga wakil tentara Belanda dan dihadiri pula oleh wakil dari UNCI, menyepakati sikap untuk mengendurkan ketegangan melalui APRIS yang berjanji akan mengadakan pendekatan kepada rakyat agar menghentikan boikot kepada tentara KNIL. Belum upaya mengendurkan itu dilakukan oleh APRIS, hari itu pula pada pukul 17.20 selang 80 menit dari usainya persetujuan tersebut tentara eks KNIL melakukan serangan sitematis keseluruh barak dan asrama tentara APRIS. Tindakan yang kelewat batas tersebut dan menghianati persetujuan, pantang ditolak oleh segenap pasukan APRIS, pejoang gerilya yang tergabung dalam Divisi Hasanudin serta rakyat Makassar. Dalam tempo sekejap memang tentara eks KNIL dapat menguasai medan pertempuran, namun keadaan cepat berubah beberapa jam kemudian.
Pasukan APRIS yang didukung oleh kekuatan Udara dan Laut menghantam terus menerus barak-barak eks tentara KNIL. Belum lagi serangan-serangan dari pasukan Divisi Hasanudin dan rakyat. Tidak sampai 3 X 24 jam pasukan eks KNIL sudah terkepung dibarak-barak mereka. Ahirnya pada tanggal 8 Agustus 1950 bertempat dilapangan terbang Mandai diadakan persetujuan antara Kolonel AE Kawilarang yang mewakili APRIS dan Mayor Jendeal Scheffelaar sebagai wakil Komisaris Tinggi Kerajaan Belanda di Indonesia. Merka sepakat agar seluruh anggota pasukan KL meninggalkan Makassar dan menyerahkan seluruh perlengkapannya kepada APRIS. Bagi mereka yang menolak akan dikeluarkan dari KL. Pada pukul 16.00 tanggal 8 Agustus dengan muka tertunduk malu dimulailah pasukan KL meninggalkan Makassar diiringi cemooh segenap rakyat. Dan untuk pertama kalinya sejak penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949, pasukan APRIS pantas bertepuk dada karena telah memenangkan perang dan mengusir pasukan KL tampa syarat. Merah Putih telah tegak berdiri menggantikan Merah Putih Biru untuk selama lamanya. Kemenangan ini tidak lepas dari dukungan seluruh rakyat termasuk para pejoang gerilya yang telah bahu membahu berjoang dengan pasukan APRIS.
Sebuah fenomena monumental yang mencatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Nasional kebesaran TNI. Walau bagaimanapun TENTARA KITA pernah jaya dan akan tetap jaya untuk selama-lamanya. Hal ini antara lain disebabkan karena pucuk pimpinannya sangat cermat dan memiliki kewaspadaan serta kedalaman berfikir dalam mengatur strategi. Mungkin inilah kelebihan Kolonel AE Kawilarang.

APRA
ANGKATAN PERANG RATU ADIL
Peristiwa Kudeta Angkatan Perang Ratu Adil atau Kudeta 23 Januari adalah peristiwa yang terjadi pada 23 Januari 1950 dimana segerombolan orang bersenjata di bawah pimpinan mantan Kapten KNIL Raymond Westerling yang juga mantan komandan pasukan khusus (Korps Speciaale Troepen), masuk ke kota Bandung dan membunuh semua orang berseragam TNI yang mereka temui. Aksi gerombolan ini telah direncanakan beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda.
Latar belakang
Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Pada 5 Desember malam, sekitar pukul 20.00 Westerling menelepon Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda, pengganti Letnan Jenderal Spoor. Westerling menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden, apabila setelah penyerahan kedaulatan Westerling berencana melakukan kudeta terhadap Sukarno dan kliknya. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai kabar, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan. Juga dia telah mendengar mengenai kelompoknya Westerling. Jenderal van Vreeden, sebagai yang harus bertanggung-jawab atas kelancaran "penyerahan kedaulatan" pada 27 Desember 1949, memperingatkan Westerling agar tidak melakukan tindakan tersebut, tapi van Vreeden tidak segera memerintahkan penangkapan Westerling.
Surat ultimatum
Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah suatu ultimatum. Ia menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif dalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld (kelahiran Jerman), Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelum itu, ketika A.H.J. Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda, dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Saat itu Westerling mengunjungi Sultan Hamid II di Hotel Des Indes, Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut. Namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun. Setelah itu tak jelas pertemuan berikutnya antara Westerling dengan Hamid. Dalam otobiografinya, Mémoires, yang terbit tahun 1952, Westerling menulis, bahwa telah dibentuk Kabinet Bayangan di bawah pimpinan Sultan Hamid II dari Pontianak, oleh karena itu dia harus merahasiakannya.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr. J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Desersi
Pada 22 Januari pukul 21.00 dia telah menerima laporan, bahwa sejumlah anggota pasukan RST dengan persenjataan berat telah melakukan desersi dan meninggalkan tangsi militer di Batujajar. Mayor KNIL G.H. Christian dan Kapten KNIL J.H.W. Nix melaporkan, bahwa kompi "Erik" yang berada di Kampemenstraat malam itu juga akan melakukan desersi dan bergabung dengan APRA untuk ikut dalam kudeta, namun dapat digagalkan oleh komandannya sendiri, Kapten G.H.O. de Witt. Engles segera membunyikan alarm besar. Dia mengontak Letnan Kolonel TNI Sadikin, Panglima Divisi Siliwangi. Engles juga melaporkan kejadian ini kepada Jenderal Buurman van Vreeden di Jakarta.
Antara pukul 8.00 dan 9.00 dia menerima kedatangan komandan RST Letkol Borghouts, yang sangat terpukul akibat desersi anggota pasukannya. Pukul 9.00 Engles menerima kunjungan Letkol. Sadikin. Ketika dilakukan apel pasukan RST di Batujajar pada siang hari, ternyata 140 orang yang tidak hadir. Dari kamp di Purabaya dilaporkan, bahwa 190 tentara telah desersi, dan dari SOP di Cimahi dilaporkan, bahwa 12 tentara asal Ambon telah desersi.
Kudeta
Namun upaya mengevakuasi Reciment Speciaale Troepen, gabungan baret merah dan baret hijau telah terlambat untuk dilakukan. Dari beberapa bekas anak buahnya, Westerling mendengar mengenai rencana tersebut, dan sebelum deportasi pasukan RST ke Belanda dimulai, pada 23 Januari 1950, Westerling melancarkan kudetanya. Subuh pukul 4.30, Letnan Kolonel KNIL T. Cassa menelepon. Jenderal Engles dan melaporkan: "Satu pasukan kuat APRA bergerak melalui Jalan Pos Besar menuju Bandung." Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong, sedangkan di pihak APRA, tak ada korban seorang pun.
Sementara Westerling memimpin penyerangan di Bandung, sejumlah anggota pasukan RST dipimpin oleh Sersan Meijer menuju Jakarta dengan maksud untuk menangkap Presiden Soekarno dan menduduki gedung-gedung pemerintahan. Namun dukungan dari pasukan KNIL lain dan TII (Tentara Islam Indonesia) yang diharapkan Westerling tidak muncul, sehingga serangan ke Jakarta gagal dilakukan.
Setelah puas melakukan pembantaian di Bandung, seluruh pasukan RST dan satuan-satuan yang mendukungnya kembali ke tangsi masing-masing. Westerling sendiri berangkat ke Jakarta, dan pada 24 Januari 1950 bertemu lagi dengan Sultan Hamid II di Hotel Des Indes. Hamid yang didampingi oleh sekretarisnya, dr. J. Kiers, melancarkan kritik pedas terhadap Westerling atas kegagalannya dan menyalahkan Westerling telah membuat kesalahan besar di Bandung. Tak ada perdebatan, dan sesaat kemudian Westerling pergi meninggalkan hotel. Setelah itu terdengar berita bahwa Westerling merencanakan untuk mengulang tindakannya. Pada 25 Januari, Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa Westerling, didukung oleh RST dan Darul Islam, akan menyerbu Jakarta. Engles juga menerima laporan, bahwa Westerling melakukan konsolidasi para pengikutnya di Garut, salah satu basis Darul Islam waktu itu.
Aksi militer yang dilancarkan oleh Westerling bersama APRA yang antara lain terdiri dari pasukan elit tentara Belanda, menjadi berita utama media massa di seluruh dunia. Hugh Laming, koresponden Kantor Berita Reuters yang pertama melansir pada 23 Januari 1950 dengan berita yang sensasional. Osmar White, jurnalis Australia dari Melbourne Sun memberitakan di halaman muka: "Suatu krisis dengan skala internasional telah melanda Asia Tenggara." Duta Besar Belanda di Amerika Serikat, van Kleffens melaporkan bahwa di mata orang Amerika, Belanda secara licik sekali lagi telah mengelabui Indonesia, dan serangan di Bandung dilakukan oleh "de zwarte hand van Nederland" (tangan hitam dari Belanda).

PEMERINTAHAN REVOLUSIONER REPUBLIK INDONESIA
PRRI
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI) merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat (Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari Dewan Perjuangan yang dipimpin waktu itu oleh Letnan Kolonel Achmad Husein di kota Padang, provinsi Sumatera Barat, Indonesia.
Dan kemudian gerakan ini mendapat sambutan dari wilayah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, dimana pada tanggal 17 Februari 1958 kawasan tersebut menyatakan mendukung PRRI.
Konflik yang terjadi ini sangat dipengaruhi oleh tuntutan keinginan akan adanya otonomi daerah yang lebih luas. Selain itu ultimatum yang dideklarasikan itu bukan tuntutan pembentukan negara baru maupun pemberontakan, tetapi lebih kepada konstitusi dijalankan. Pada masa bersamaan kondisi pemerintahan di Indonesia masih belum stabil pasca agresi Belanda, hal ini juga mempengaruhi hubungan pemerintah pusat dengan daerah serta menimbulkan berbagai ketimpangan dalam pembangunan, terutama pada daerah-daerah di luar pulau Jawa.
Dan sebelumnya bibit-bibit konflik tersebut dapat dilihat dengan dikeluarkannya Perda No. 50 tahun 1950 tentang pembentukan wilayah otonom oleh provinsi Sumatera Tengah waktu itu yang mencakup wilayah provinsi Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi sekarang. Namun apa yang menjadi pertentangan ini, dianggap sebagai sebuah pemberontakan[1] oleh pemerintah pusat yang menganggap ultimatum itu merupakan proklamasi pemerintahan tandingan dan kemudian dipukul habis dengan pengerahan pasukan militer terbesar yang pernah tercatat di dalam sejarah militer Indonesia.
Kabinet PRRI
Kabinet PRRI terdiri dari:
a.       Mr. Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Keuangan,
b.      Mr. Assaat Dt. Mudo sebagai Menteri Dalam Negeri, Dahlan Djambek sempat memegangnya sebelum Mr. Assaat sampai di Padang,
c.       Maluddin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri,
d.      Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran,
e.       Moh. Syafei sebagai Menteri PPK dan Kesehatan,
f.       J.F. Warouw sebagai Menteri Pembangunan,
g.      Saladin Sarumpaet sebagai Menteri Pertanian dan Perburuhan,
h.      Muchtar Lintang sebagai Menteri Agama,
i.        Saleh Lahade sebagai Menteri Penerangan,
j.        Ayah Gani Usman sebagai Menteri Sosial,
k.      Dahlan Djambek sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi setelah Mr. Assaat sampai di Padang
Pasca PRRI
Pengaruh dari peristiwa ini juga menyebabkan timbulnya eksodus besar-besaran suku Minangkabau ke daerah lain[4] serta kemudian menimbulkan efek psikologis yang besar pada sebahagian besar masyarakat Minangkabau masa tersebut yaitu melekatnya stigma pemberontak[5], padahal kawasan Minangkabau sejak zaman Belanda termasuk kawasan yang gigih menentang kolonialis serta kawasan Indonesia yang setia dan banyak melahirkan pemimpin-pemimpin nasionalis masa pra kemerdekaan. Selain beberapa tindakan kekerasan yang dialami oleh masyarakat juga menguncang harga diri, harkat dan martabat yang begitu terhina dan dihinggapi psychology of the losers (psikologi orang kalah)[6] serta trauma atas kekalahan PRRI. Sampai hari ini para pelaku peristiwa PRRI tetap menolak dianggap sebagai pemberontak atas tindakan yang mereka lakukan.[4]
Sejarah Permesta
Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado dengan tokoh² politik, masyarakat dan cendikiawan. MC (moderator) saat itu adalah Kapten Wim Najoan. Secara singkat, Panglima KDM-SUT memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera dan putusan dibentuknya PRRI. Selanjutnya Panglima KDM-SUT memberitahukan pada rapat tersebut, putusan sbb:
"Permesta di Sulutteng menyatakan solider dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI Kabinet Djuanda".
Tanpa dikomando hadirin bersama² berdiri dan menyambutnya dengan pekik: "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup Somba!" berulang². Setelah rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan hubungan dengan pusat oleh 3 orang (Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan,...), maka pertemuan dibuka kembali dan teks tersebut dibacakan. Setelah itu emosi hadirin meledak. Pekik "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!" menggema selama beberapa menit. Setelah itu Mayor Dolf Runturambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara² setuju?" Serentak dijawab: "Setuju! Setuju!". Kembali suasana dipenuhi oleh antusiasme yang berapi², walau tampak beberapa orang yang tetap bungkam. Kemudian diadakan pertemuan umum raksasa di Lapangan Sario Manado pada pukul 11.00. Letkol D.J. SOMBA selaku Panglima/Gubernur Militer KDM-SUT (Komando Daerah Militer Sulawesi Utara-Tengah) atas nama rakyat dan tentara Sulutteng, membacakan teks pemutusan hubungan dengan Pemerintah Pusat di Jakarta. Isi dari teks tersebut adalah:
"Rakyat sulutteng termasuk militer solider pada keputusan PRRI
Dan memutuskan hubungan dengan pemerintah RI"
Rapat Raksasa di Lapangan Sario
Overste DJ Somba: Putus hubungan dengan Pusat. Kemudian, sebuah pesawat komersil Garuda dari maskapai penerbangan nasional GIA yang baru tiba, dibiarkan terbang kembali- berangkat ke Jakarta dan pada semua orang yang ingin segera meninggalkan Manado dengan pesawat tersebut hari ini juga diberikan kelonggaran sepenuhnya. Sekalipun demikian, banyak juga yang menemui Mayor Dolf Runturambi selaku Kastaf KDM-SUT untuk meminta semacam surat pas buat naik pesawat GIA terakhir ini, supaya mereka merasa aman.
Pukul 20.00 malam hari, Kastaf KDMSUT Mayor Dolf Runturambi membacakan teks pemutusan hubungan dengan pusat dalam bahasa Inggris melalui RRI (Radio Permesta). Kemudian oleh Pemerintah Pusat (dan tentu saja PKI), gerakan ini disebut sebagai "pemberontakan PRRI/Permesta".
Pada saat itu Kolonel Permesta H.N.Ventje Sumual sedang berada di Manila. Beberapa hari kemudian, KDMSUT menerima radiogram bahwa Letkol Ventje Sumual telah bertolak ke luar negeri, Singapura, Manila terus ke Tokyo (Sebelumnya diketahui oleh para perwira KDM-SUT bahwa Letkol Sumual masih berada di Sumatera). Ia pergi bersama Mayor Jan M.J. Pantouw (Nun), sedangkan Mayor Arie W. Supit ditugaskan untuk pergi ke Roma. Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual (pangkat yang dinaikkan KSAD menjadi Kolonel, namun belum dilantik secara resmi), Mayor D.J. Somba (Saat itu ia telah menerima kenaikan pangkat otomatis Overste (Letkol) selaku Gubernur Militer/KDM, tapi belum ada kenaikan pangkat resmi) dan Mayor Dolf Runturambi.
Beberapa hari kemudian KSAD memerintahkan untuk menangkap Letkol D.J. Somba, Mayor Dolf Runturambi, Gubernur SUT H.D. Manoppo dan Jan Torar. Sebetulnya, dengan memutuskan hubungan dengan pusat maka gerakan Permesta sudah mati, karena hanya sekitar 16 dari 51 deklarator Piagam Permesta saja yang berasal dari Sulawesi Utara yang meneruskan gerakan Permesta. Istilah "Permesta" sendiri secara resmi tidak dipergunakan lagi oleh pejabat sipil dan militer di Sulawesi Utara karena sudah menjadi bagian (cabang) dari PRRI di Sumatera; tetapi dalam kenyataannya cabang pemberontakan PRRI Sulawesi utara sering disebut PRRI/Permesta. Selain itu, kata Permesta adalah kata bahasa baku yang dipergunakan oleh kalangan masyarakat umum untuk menyebutkan gerakan ini, bahkan ada yang tidak mengetahui sama sekali bahwa gerakan Permesta sudah dilebur ke dalam PRRI sedangkan yang lainnya menyebutkan "PRRI" sebagai suatu gerakan pemberontakan lain yang berdiri sendiri disamping gerakan Permesta (maupun DI/TII Kahar Muzakhar, Daud Beureueh, dll).
Sejak saat itu, semua penduduk terutama kaum muda, yang semula dikerahkan memanggul alat pembangunan, tiba² diminta berganti peran. Pendaftaran mulai dilakukan dimana², baik untuk mendukung barisan pemuda maupun untuk dinas militer Permesta. Latihan kemiliteran pun mulai tampak dimana². Para pemuda, tak terkecuali gadis², mulai raib dari kampung². Mereka ikut mendaftarkan diri, lalu dikirim ke pusat² latihan. (Kaum wanita Permesta tergabung dalam Pasukan Wanita Permesta (PWP) dengan potongan rambut seperti Kowad/Polwan).
Pendidikan dan latihan secara militer dengan memakai senjata dipusatkan di daerah Mapanget, dilatih oleh para penasehat dari Korps Marinir AS. Pendidikan dengan latihan tempur dalam satuan kompi dan batalyon dilakukan di Remboken, Tompaso dan di daerah perbukitan Langowan. Latihan di sana dipimpin oleh seorang Mayor AD Filipina dengan beberapa perwira APRI (TNI) yang berpendidikan kompi. Sejumlah penasehat militer Amerika Serikat diselundupkan ke Sumatera dan Minahasa. Berbagai macam persenjataan dikirimkan lewat kapal dan sejumlah pesawat terbang (antara lain pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51, Beachcraft, Catalina dan pembom B-26 Invander yang berada dibawah Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dengan sekitar 40 awak pesawatnya) juga ikut diperbantukan. Mereka melancarkan kegiatan tersebut dari Pangkalan Udara Militer Amerika Serikat di Clark Airfield, Filipina. Ada juga satuan kepolisian PRRI yang bernama Polisi Revolusioner (Polrev), dan badan intelejen Permesta yang diberi nama Permesta Yard.

Kiriman pertama yang terdiri dari berbagai senjata ringan serta amunisi untuk pasukan infanteri segera dikeluarkan dan dibagi²kan. Beberapa pucuk mitraliur anti pesawat terbang segera dipasang di tempat² strategis di sekitar daerah pelabuhan dan lapangan udara yang sudah ditetapkan sebelumnya. Bersama kiriman persenjataan tersebut juga tiba beberapa instruktur asing, sehingga latihan² pasukan baru dapat segera dimulai. Permesta saat itu tidak pernah kekurangan senjata. Salah seorang pemasok peralatan militer Permesta dari luar negeri yaitu Mayor Daan E. Mogot mengakui bahwa dari Italia pernah menawarkan kapal perang, tetapi tidak pernah bisa diambil karena alasan teknis. Demikian juga bantuan dana dan perbekalan, dengan mudah bisa didapatkan dari Taiwan, Jepang, Korea Selatan dan Filipina. Timbunan senjata dan perlengkapan militer terkumpul di Okinawa dan di Filipina. Orang² PRRI dan Permesta, Filipina, Cina, Amerika Serikat dan para sedadu sewaan 'dari negara² lain' juga telah dilatih dan siap di Okinawa dan di Filipina untuk membantu PRRI dan Permesta.
Sekitar satu peleton anggota RPKAD (sekarang Kopassus) yang berasal dari Minahasa yang sedang cuti pulang kampung terjebak Pergolakan. Pasukan Nicholas Sulu tersebut kemudian menjadi tulang punggung WK-III di wilayah Tomohon. Selain itu ada juga sepasukan yang dipimpin oleh bekas anggota RPKAD fam Lahe yang merekrut pemuda² di kampungnya dan membentuk Kompi Lahe yang terkenal kejam akan pembantaian Pasukan Combat (kompi) Lahe di Raanan dan Tokin: Peristwa itu didahului oleh Simon Ottay dari GAP (Gerakan Anti Permesta) - yaitu salah satu organisasi bentukan komunis (PKI) yang menyamar dengan memakai pangkat Kapten Permesta (APREV) mendaftarkan penduduk dari kedua desa tersebut untuk menjadi "anggota" Pasukan Permesta. Setelah ia lari karena diburu pasukan PRRI (Permesta), didapatilah daftar "anggota" tersebut. Tanpa pemeriksaan, langsung saja Kompi Lahe yang dipimpin oleh Montolalu membantai penduduk kedua desa tersebut. Karena tindakan ini dinilai sebagai kejahatan kemanusiaan dan hukum (tanpa pemeriksaan secara saksama), maka Lahe dan Montolalu dikejar pasukan antara lain dari Kapten (?) Tumanduk. Montolalu ditangkap di Sinisir, dan dieksekusi di Mokobang, sedangkan Lahe ditangkap di Remboken.
Sejumlah besar anggota Komando Pemuda Permesta (KoP2) di wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta. KoP2 atau yang lebih dikenal sebagai Kopedua ini dipimpin oleh Yan Torar. Sebelum itu, kegiatan KoP2 adalah membantu pemerintah daerah masing² mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah². Sebagian lagi, khususnya pelajar dan mahasiswa, disusun dalam satuan Permesta dengan nama Corps Tentara Peladjar (CTP) dipimpin Jimmy Noya, seorang pemuda asal Ambon (Maluku) serta Wilson H. Buyung. Lambang Corps-TP dan Badge dengan dasar hitam garis lima merah diagonal tersebut hasil inspirasi dari film perang 'To Hell and Back' yang hanya bergaris tiga sebab kebetulan sewaktu tercetusnya Permesta hanya film perang itu saja yang diputar berulang² di bioskop² Manado. Arti warnanya adalah merah hitam berarti berani mati untuk mempertahankan 5 [lima] garis merah berarti Pancasila. Penciptanya adalah Krishna Sumanti [Kris] ex. CTP Manado Jimmy boys.
Semangat pasukan Permesta ini dibakar oleh para ahli psywar dan agitasi, lewat teknik pendekatan dan pembinaaan yang jitu. Patahlangi, Putera Bugis yang terkenal sebagai orator dan agitator berbakat, setiap sore terdengar suaranya lewat Radio Permesta Manado, berpidato berapi² mengobarkan semangat Permesta di kalangan pendengar. Berbagai kehebatan dan keunggulan serta kekuatan Permesta ditonjolkan. Sebaliknya setiap kelemahan pihak lawan dipaparkan, dan keburukan ditelanjangi.
Slogan perjuangan saat itu adalah: "Permesta Pasti Menang".
Fenomena yang terjadi akibat situasi Pergolakan ini antara lain mewabahnya demam mistik. Kepercayaan terhadap kekuatan mistik Opo² yang sangat diyakini leluhur orang Minahasa, kembali mengental. Kekebalan tubuh terhadap bacokan atau tembakan senjata merupakan hal yang paling laris dalam situasi yang siap bertempur tersebut. Orang pintar yang disebut Tonaas bermunculan di kampung². Jimat² tersebut ada yang berbentuk batu cincin, keris, sapu tangan, atau ikat pinggang jimat. Yang paling disukai dan dianggap hebat kesaktiannya adalah ikat pinggang jimat, berupa batu² kecil ataupun akar²an yang telah dibungkus dengan kain merah, beruas² yang disebut Sembilan Buku (Ruas). Selain itu ada jimat penghilang tubuh serta jimat terbang yang juga menjadi 'dagangan' laris saat itu, dan ada juga jimat yang diberikan dalam bentuk air yang diminum atau dimandikan.
Tokoh² sakti yang menjadi idola saat itu antara lain adalah Nok Korompis, Daan Karamoy, Gerson (Goan) Sangkaeng, Len Karamoy, Yan Timbuleng, serta banyak lagi orang sakti lainnya yang menjadi pimpinan Permesta ketika itu. Salah satu akibat utama dari mistik ini adalah banyak menimbulkan perpecahan bahkan lucut- melucuti senjata, serta kudeta kekuasaan di antara sesama pasukan. Hal ini merupakan kelemahan fatal bagi keutuhan dan kekuatan Permesta, sebab seorang bawahan yang merasa dirinya sakti, bisa saja melawan atasannya). 18 Februari 1958 Dalam putusannya, Pemerintah Pusat di Jakarta melalui siaran radio RRI Pusat, menyatakan bahwa Letkol D.J. Somba dan Mayor Dolf Runturambi dipecat dari dinas militer TNI-AD dalam APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia).
19 Februari 1958 Letkol D.J. Somba hari ini secara sepihak melaksanakan pembagian KDM-SUT yang sudah lama direncanakan itu dalam dua resimen. Mayor Dolf Runturambi ditugaskan menjadi Komandan Sektor I/Resimen Team Pertempuran (RTP) "Ular Hitam", yang meliputi Sangihe-Talaud, Minahasa, dan Bolaang Mongondow; dan Mayor Jan Wellem (Dee) Gerungan dilantik sebagai komandan Sektor II Resimen Team Pertempuran "Anoa", di Sulawesi Tengah dengan markas besar di Poso. KSAD Mayjen A.H. Nasution menyatakan bahwa Angkatan Darat mendukung Demokrasi Terpimpin. Masa ini adalah untuk pertama kalinya Presiden Soekarno merasa berada dalam dukungan ideologis dari pimpinan tentara. Ini menjadi salah satu kedekatan yang istimewa antara Presiden Soekarno dengan KSAD Jenderal Mayor A.H. Nasution. Sugesti dari pihak militer jelas sangat berperan pada keputusan Soekarno, yang kendati sejak awal berusaha berbaik dengan para panglimanya di daerah.
Presiden Ir. Soekarno bertemu dengan Drs. Mohammad Hatta guna membicarakan situasi yang terjadi akhir² ini. Mereka bertemu lagi tanggal 3 Maret. Hari ini, Gunung Lokon mulai menampakkan kegiatannya dengan sebuah letusan kecil yang memuntahkan lapili di sekitar kawah. Kemudian letusan Lokon terjadi pada tanggal 4, 16-17 Maret, 3-4 Mei tahun ini juga. Kegiatan letusan Lokon ini berlangsung sepanjang tahun. Letusan ini dilanjutkan hingga berakhir pada tanggal 23 Desember 1959- tahun berikutnya. Selama tahun 1959 Lokon memuntahkan abu diselingi letusan kuat yang melontarkan batu. Hujan abu turun di sekitarnya. Dalam bulan Agustus, September dan November tahun 1959 tidak terjadi letusan.
Konon, letusan Gunung Lokon ini dipercaya orang terjadi akibat peringatan dewa Minahasa (opo) berkaitan dengan mulainya prahara Pergolakan Permesta - perang saudara antara Pemerintah Pusat dengan PRRI di Minahasa.
20 Februari 1958 Perintah untuk melakukan operasi militer secara terbuka bergulir dari Jakarta pada tanggal 20 Februari 1958. Keputusan ini diambil Jakarta sehubungan berakhirnya ultimatum pemerintah pusat kepada PRRI untuk menyerah. Maka hari itu, dua pesawat B-25 dengan penerbang Kapten Sri Muljono dan Mayor Soetopo mendapat perintah menyebarkan pamflet yang berisi himbauan agar PRRI menyerah. Sebelum menuju daerah tujuan, kedua pesawat mendarat di Astra Setra, Lampung agar tidak diketahui Letkol Barlian, Komandan Sumatera Selatan. Barulah esok paginya kedua pesawat terbang menyusuri pantai barat Sumatera. Setelah terbang sekitar hampir dua jam, ereka mulai memasuki pantai Padang dan menebarkan pamflet.
Permesta membalas perintah tersebut dengan mengumandangkan semboyan:
"Hanja Kalau Kering Danau Tondano, Rata Gunung Lokon, Klabat Dan Soputan Baru Tentara Djuanda Dapat Mengindjakkan Kakinja Diminahasa."
21 Februari 1958 Hari ini, pemerintahan PRRI-Permesta di Sulut menerima radiogram dari Letkol Ventje Sumual, yang memerintahkan untuk mengadakan telaahan staf mengenai persiapan² militer menghadapi ofensif Jakarta. Selanjutnya kepada Mayor J.W. (Dee) Gerungan ditugaskan untuk membuat konsep rencana ofensif terhadap ofensif pusat bersama Mayor Eddie Gagola, yang menyusun rencana pembentukan WK (Wehrkreisse).
Perdjuangan Semesta atau Perdjuangan Rakjat Semesta disingkat Permesta adalah sebuah gerakan militer di Indonesia. Gerakan ini dideklarasikan oleh pemimpin sipil dan militer Indonesia Timur pada 2 Maret 1957yaitu oleh Letkol Ventje Sumual. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu merupakan ibu kota Sulawesi. Awalnya masyarakat Makassar mendukung gerakan ini. Perlahan-lahan, masyarakat Makassar mulai memusuhi pihak Permesta. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan pembangunan mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas hak menentukan diri sendiri (self determination) yang sesuai dengan sejumlah persetujuan dekolonisasi. Di antaranya adalah Perjanjian Linggarjati, Perjanjian Renville dan Konferensi Meja Bundar yang berisi mengenai prosedur-prosedur dekolonisasi atas bekas wilayah Hindia Timur. Pemerintah pusat Republik Indonesia yang dideklarasikan di Jakarta pada 17 Agustus 1945 kemudian menggunakan operasi-operasi militer untuk menghentikan gerakan-gerakan pemberontakan yang mengarah kepada kemerdekaan.
Awal Gerakan
Pada tanggal 2 Maret 1957 di Makassar,Letkol.Ventje Sumual memproklamirkan berdirinya Piagam Perjuangan Semesta.Gerakan meliputi hampir seluruh wilayah Indonesia Timur.serta mendapat dukungan dari tokoh-tokoh .Indonesia timur.ketika itu keadaan Indonesia sangat bahaya dan hampir seluruh pemerintahan di daerah diambil oleh militer.selain itu mereka juga membekukan segala Aktivitas PKI(Partai Komunis Indonesia),serta menangkap kader-kader PKI.Keadaan semakin genting tatkala diadakan rapat di gedung Universitas Permesta yang membicarakan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat. Pada pukul 07.00 diadakan pertemuan di ruang rapat gedung Universitas Permesta di Sario Manado dengan tokoh tokoh politik, masyarakat dan cendikiawan.saat itu adalah Kapten Wim Najoan.Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah memberikan gambaran tentang perkembangan di Sumatera dan putusan dibentuknya PRRI. Selanjutnya ia Memberikan sebuah keputusan "Permesta di Sulutteng menyatakan solider dan sepenuhnya mendukung pernyataan PRRI. Oleh sebab itu, mulai saat ini juga Permesta memutuskan hubungan dengan Pemerintah RI Kabinet Djuanda".Seketika pula para peserta rapat berdiri dan menyambutnya dengan pekik: "Hidup PRRI! Hidup Permesta! Hidup Somba!".Setelah rapat diskors 30 menit untuk menyusun teks pemutusan hubungan dengan pusat oleh 3 orang Mayor Eddy Gagola, Kapten Wim Najoan dll setelah selesai menyusun teks pemutusan hubungan degan Pemerintah Pusat. Lalu teks tersebut dibacakan kepada para hadirin .berselang berapa lama kemudian,para perta rapat ramai ramai mendengungkan pekik "Hidup Permesta! Hidup PRRI! Hidup Somba-Sumual!".Setelah itu Mayor Dolf Runturambi bertanya kepada hadirin, "Bagaimana, saudara saudara setuju?" Serentak dijawab: "Setuju! Setuju!".kembali suasana yang sangat ramai dari para hadirin.Kemudian setelah rapat tersebut.Kolonel DJ.Somba selaku pimpinan Kodam Sulawesi Utara dan Tengah mengadakan rapat di lapangan sario Menado.ia membacakan teks pemutusan hubungan dangan Pemerintah Pusat yang isinya:
"Rakyat Sulawesi Utara Dan Tengah Termasuk Militer Solider Pada Keputusan Prridan Memutuskan Hubungan Dengan Pemerintah Ri"
 Hari itu juga Pemerintah Pusat kemudian mengumumkan pemecatan dengan tidak hormat atas Letkol H.N. Ventje Sumual, Mayor D.J. Somba, dan kawan kawannya di pecat secara tidak hormat dari Angkatan Darat.Dan seketika itu pula para pelajar,Mahasiswa,Pemuda dan EX-KNIL Mendaftarkan diri untuk menjadi Pasukan dalam Angkatan Perang Permesta,dan bagi mereka yang telah mendatar langsung di beri latihan di Mapanget.dalam hal ini pula keterlibatan Amerika Serikat benar benar terlihat,dengan mendatangkan penasehat penasehat militernya.serta memberikan sejumlah bantuan berupa Amunisi,mitraliur anti pesawat terbang selain itu untuk memperkuat Angkatan Perang Revolusioner (AUREV).mereka juga mendatangkan sejumlah pesawat terbang antara lain pesawat pengangkut DC-3 Dakota, pesawat pemburu Mustang F-51, Beachcraft, Catalina dan pembom B-26 Invander.di sisi lain juga Permesta membentuk suatu badan dan satua kepolisian yaitu 1.Polisi Revolusioner 2.
Pasukan Wanita Permesta(PWP) 3.Permesta Yard yaitu sebuah badan intelejen. Selain dari Amerika Serikat Permesta juga mendapat bantuna dan dukungan dari Negara Negara pro Barat seperti Taiwan,Korea Selatan,Philipna serta Jepang.dan dengan dukungan yang begitu besar sehingga Permesta tidak pernah kehabisan perbekalalan ketika bertempur Sejumlah besar anggota Komando Pemuda Permesta wilayah Sulawesi Utara dan Tengah dengan sukarela mendaftarkan diri menjadi anggota pasukan Permesta Komando Pemuda Permesta.Sebelumnya tugas Mereka,adalah untuk membantu pemerintah daerah guna mengerahkan tenaga dan dana untuk melancarkan pembangunan di daerah daerah.Pergolakan inipun terus berlanjut dan semakin menuju terjadinya Perang Saudara.ketika itu Republik Indonesia yang baru berdiri kurang lebih 10 tahun setelah pengakuan kedaulatan benar benar di ujung tanduk .keutuhan Negara Republik Indonesia sangat membahayakan apalagi saat itu di daerah lainnya juga muncul pemberontakan pemberontakan terhadap Pemerintah RI yaitu
1. PRRI (Pemerintahan Revolusioner Indonesia)
2. DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia)
3. Republik Maluku Selatan
Selain itu juga di dalam tubuh pemerintahan RI banyak terjadi pergolakan politik.terutama dengan silih bergantinya Kabinet,seiring dengan penerapan Demokrasi Liberal.di sisi lain hubungan Dwi-Tunggal Soekarno dan juga Hatta mengalami keretakan.ini terjadi akibat dari kedekatan Soekarno dengan Partai Komunis Indonesia yang selalu memusuhi Hatta.akhirnya dengan berat hati memundurkan diri dari jabatan sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia di kala suasana Negara yang kritis.Akibat pemutusan hubungan Permesta dengan Pusat Kota Menado Menjadi sangat mencekam.Kegelisahan meghantui setiap penjuru Menado. Warga seaakan tak bisa tenang untuk sesaatpun karena khawatir akan adanya serangan dari Pemerintah Pusat yang diperkirakan tak lama lagi bakal datang menyerbu daerah yang dikuasai Permesta.
Banyak Masyarakat menado yang mengungsi ke luar Kota untuk menghindari Perang Saudara yang nampaknya akan menjadi sebuah kenyataan,Di lain pihak juga dukungan terhadap Permesta semakin besar. Dengan,masuknya Kolonel Alexander Evert Kawilarang setelah berhenti sebagai Atase Militer RI pada Kedubes RI di Washington, DC, Amerika Serikat], kemudian ia berhenti dari dinas militer,dengan Pangkat Brigadir Jenderal. Selanjutnya pulang ke Sulawesi Utara untuk bergabung dengan Permesta.disana ia mendapat jabatan sebagai Panglima Besar/Tertinggi Angkatan Perang Revolusi PRRI dan Kepala Staf Angkatan Perang APREV (Angkatan Perang Revolusi) PRRI, dengan pangkat Mayor jenderal.dan selanjutnya ia menjadi Panglima Besar Permesta.Presiden Taiwan Chiang Kai Shek pernah merencanakan untuk mengirimkan 1 resimen marinir dan 1 skuadron pesawat tempur untuk merebut Morotai bersama sama dengan Permesta , namun Menteri Luar Negeri Taiwan Yen Kung Chau menentang gagasan itu.karena khawatir Republik Rakyat Cina akan ikut serta membantu Pemerintah Pusat di Jakarta dan mungkin akan memiliki alasan untuk mengintervensi.terhadapTaiwan.walaupun demikian.Taiwan sebelumnya memang sudah membantu Permesta dengan mengirimkan persenjataan dan dua squadron pesawat tempur ke Minahasa untuk Angkatan Udara Revolusioner Bantuan Taiwan akhirnya tercium oleh Pemerintah Pusat.Bulan Agustus 1958, militer mengambil alih bisnis yang dipegang oleh penduduk WNI asal Taiwan.dan sejumlah Surat Kabar,Sekolah ditertibkan.
Operasi Militer
Demi mejaga keutuhan Republik Indonesia.Pemerintah Pusat] melalui KSAD Mayor Jenderal Nasution melakukan pesiapan guna melakukan operasi militer terhadap kedudukan Permesta di Sulawesi.operasi ini di beri nama,Operasi Saptamarga I dengan pimpinan Letkol.Soemarsono dengan rincian sasaran Sulawesi Utara bagian Tengah pada bulan Maret 1958 Palu dan Donggala telah direbut oleh APRI(Angkatan Perang Republik Indonesia) dan Pasukan Mobile Brigade, di bawah pimpinan Kapten Frans Karangan Dikabarkan bahwa komandan.Akhir Maret 1958 Menjelang akhir bulan Maret, Permesta mendapatkan beberapa bantuan gerombolan Jan Timbuleng (Pasukan Pembela Keadilan/PPK) juga turut bergabung gerombolan pemberontak lainnya, kurang lebih 300 orang dari satu kelompok (Sambar Njawa) yang dipimpin Daan Karamoy. Serta bekas istri Jan Timbuleng,Len Karamoy sebagai komadan pasukan, menawarkan diri untuk melatih sebuah laskar wanita untuk Permesta (PWP).serta mereka Pula melakukan rencana untuk menyerang Jakarta.Namun secara bertahap.rencana ini di beri nama Operasi Djakarta II. Rencana Operasi Djakarta II itu adalah sebagai berikut:
a.      merebut kembali daerah Palu/Donggala yang telah dikuasai Tentara pusat;lalu menyerang dan menduduki Balikpapan.
b.      sasaran kedua adalah Bali;
c.       sasaran ketiga adalah Pontianak;
d.      sasaran terakhir adalah Jakarta.
Operasi ini bertujuan untuk menekan Pemerintah Pusat agar mau berunding dengan PRRI.dan pada 13 April 1958 pesawat pesawat milik AUREV menyerang lapangan udara Mandai Makassar serta tempat tempat lainya seperti Ternate,Balikpapan dan Donggala dan serangan yang paling fatal adalah serangan terhadap Kapal Hang Tuah yang sedang bersandar di pelabuhan Balikpapan.menyebabkan Kapal tersebut tenggelam.Pada tanggal 18 mei 1958 dilakukanlah Operasi Mena II di bawah Komando Letkol.KKO Hunholz untuk merebut lapangan udara Morotai di sebelah utara Halmahera.mayor Soedomo selaku Kepala Staf memerintahkan tuk berlayar ke Pulau Tiaga di lepas Pantai Ambon dengan di dukung Pesawat P-51 Mustang dan B-26 serta Pasukan Gerak Cepat,Pasukan Angkatan Darat dan Gabungan Marinir.Lalu Datanglah serangan dari Alan Pope menggunakan Pesawat B-26 Invader.
Sebelumya ia telah menyerang Ambon setelah terbang dari Mapanget.Seketikapun Alan Pope menukikan Pesawatnya untuk menyerang kedudukan Pasukan APRI.melihat tanda bahaya para awak yang berada di dalam Kapal dengan serentak melakukan tembakan balasan. hampir seluruh Pasukan yang ada di dalam Kapal melakukanya.Mulai dengan Penagkis udara,Senapan Serbu,Senapan Otomatis,Senapan Infanteri bahkan Pistol.di sisi lain bantuan untuk Pemerintah Pusat pun datang dari penerbang bernama Ignatius Dewanto dengan menggunakan Pesawat kopkit P-51.Dewanto langsung memacu pesawatnya dan lepas landas.untuk membantu iring iringan ALRI yang diserang.Tetapi Dia tidak menemukan B-26 AUREV. Ferry Tank (Tangki bahan bakar cadangan) dilepas di laut. Lalu terlihatlah konvoi kawan kawanya yang diserang B-26 milik AUREV buruannya. Dengan cepat ia mengejar Dewanto lalu mengambil posisi di belakang lawan. Roket ditembakkan namun, berkali-kali lolos, disusul dengan tembakan 6 meriam 12,7, karena jaraknya lebih dekat, memungkinkan ia dapat mengenainaya lebih besar. Dewanto yakin tembakannya mengenai sasaran.Lalu semua awak yang berada di dalam Kapal melihat pesawat milik AUREV itu terbakar.lalu terlihatlah dua buah Parasut yang jatuh,ada yang jatuh di sebuah pohon, serta luka terhempas karang.lalu kedua orang itu adalah Allan Pope dan Harry Rantung,Allan Pope adalah seorang penerbang bayaran asal Amerika Serikat.yang sedang melakukan tugas untuk membantu Permesta dalm Pemberontakan.Akibat semua ini adalah melemahnya kekuatan Permesta di udara.menyebabkan Apri dengan mudah menguasai setiap
Wilayah yang semula diduduki Permesta.Kemudian Pasukan RPKAD bersiap untuk menyeran mapanget namun mengalami Kegagalan serta menewaskan Miskan, seorang Prajurit dan Sersan Mayor Tugiman,Setelah Pasukan RPKAD gagal kemudian AURI menyerang Mapanget dengan Pesawat P-51 Mustang.dengan sasaran menembak awak Canon anti Udara pertempuran sengit pun terjadi para awak Canon anti udara,permesta terus melakukan penembakan terhadap pasukan AURI secara Terus menerus.bahkan,dari merka ada yang sampai terpental namun tidak mengalami luka, lalu kembali memegang Canon Anti Udara mereka maisng masing.dari akhirnay serangan ini kembali tidak membuahkan hasil.para Canon Anti Udara Permesta menjadi Pahlawan karena berhasil mengusir setiap serangan yang selalu datang.sebelumnya,mereka juga sempat merontokan 3 pesawat milik AURI.AURI pun mengakui keunggulan Pertahanan udara Permesta yang mereka nilai paling tersulit selama Melakukan Operai Militer .kebanyakan dari mereka adalah Pasukan Ex-KNIL jadi sudah sangat terlatih walaupun umur mereka banyak yang sudah tua,namun berkat pengalaman yang mereka miliki.mereka dapat berbuat banyak.Sementara itu Gubernur Sulawesi Andi Pangerang menyatakan Pembekuan segala Aktivitas yang Berkaitan dengan Permesta.dan kemudian Amerika Serikat menarik segala bantuanya terhadap Permesta.karena malu terhadap Pemerintah Pusat setelah pesawat yang di kemudikan Alan Pope terjatuh,yang membongkar segala bantuan Amerika terhadap Permesta,Sebelum pesawat itu jatuh Amerika Serikat,dengan sangat bersikeras menyatakan bahwa mereka sama sekali tidak terlibat dengan PRRI maupun Permesta. Seperti yang dikutip oleh John Foster Julles “Apa yang terjadi di Sumatera adalah urusan dalam negeri Indonesia. AS tidak ikut campur dalam urusan dalam Negeri Negara lain”
Kemudian, EisenHower selaku Presiden Amerika Serikat,mengadakan jumpa pers terkait Peristiwa yang terjadi di Sumatera dan Sulawesi,serta penemuan beberapa senjata buatan AS.isi dari jumpa pers itu adalah:”Senjata-senjata yang ditemukan oleh ABRI.adalah senjata yang dengan mudah dapat ditemukan di pasar gelap dunia. Di samping itu, sudah biasa di mana ada konflik pasti akan ditemukan tentara bayaran” Tetapi tuduhan bahwa Amerika Serikat terlibat disini semakin nyata, setelah tubuh Alan Pope digeledah dan terdapat beberapa identitas tentang dirinya.seperti surat keterangan yang mengizinkan Pope memasuki semua fasilitas militer AS di Philpina . Juga ada kartu klub perwira di pangkalan itu. Hal ini membuat Amerika benar-benar kehilangan muka di dunia.bahkan segala buku yang mengisahkan sepak terjang CIA selalu memojokan Amerika.Untuk meraih Hati Presiden Soekarno.
Amerika menawarkan bantuan senjata.serta bersedia mengimpor beras kepada Indonesia dengan bayaran Rupiah,selain itu dengan sangat terpaksa,Amerika menghentikan segala bantuannya kepada PRRI dan Permesta.sehingga membuat keduannya semakin melemah.Sementara itu peperangan antara Pemerintah pusat dan Permesta semakin gencar.saling menguasai beberapa tempat terjadi.pada tanggal 17 Pebruary 1959 Permesta secara serentak melakukan serangan besar besaran yang di beri nama operasi "Operation Djakarta Special One" .Tujuan dari serangan itu adalah.menduduki beberapa Kota Srategis seperti; Langowan, Tondano dan Amurang-Tumpaan.untuk menhancurkan segala Prasarana musuh.Namun demikian,operasi tersebut mengalami kegagalan walaupun Permesta sempat menduduki beberapa tempat.namun hanya untuk beberpa jam saja.karena temat tersebut berhasil direbut oleh Pasukan APRI dan AURI. Setelahnya pasukan APRI dan AURI berhasil menduduki beberapa tempat yang sebelumnya merupakan basis terkuat dari Permesta.
Kembali ke NKRI
Pada tahun 1960 Pihak Permesta Menyatakan kesediaanya,untuk berunding dengan Pemerintah Pusat.Perundingan pun dilangsungkan Permesta diwakili oleh Panglima Besar Angkatan Perang Permesta,Mayor Jenderal Alex Evert Kawilarang.serta Pemerintah Pusat diwakili oleh Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal A.H Nasution.dari perundingan tersebut tercapai sebuah kesepakatan yaitu: bahwa pasukan Permesta akan membantu pihak TNI untuk bersama-sama menghadapi pihak Komunis di Jawa.Pada tahun 1961 Pemerintah Pusat melalui Keppres 322/1961.memberi Amnesti dan Abolisi Bagi siapa saja yang terlibat PRRI dan Permesta.tapi bukan untuk itu saja bagi anggota DI/TII baik,di Jawa Barat,Aceh,Jawa Tengah,Kalimntan Selatan dan Sulawesi Selatan Juga berhak Menerimanya.Sesudah keluar keputusan itu, be ramai-ramai banyak anggota Permesta yang keluar dari hutan-hutan Untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi. Seperti Kolonel D.J Somba,Mayor Jenderal A.E.Kawilarang, Kolonel Dolf Runturambi,Kolonel Petit Muharto Kartodirdjo, dan Kolonel Ventje Sumual beserta pasukannya menjadi kelompok paling akhir yang keluar dari hutan hutan.untuk mendapatkan Amnesti dan Abolisi.dan pada tahun itu pula permesta dinyatakan bubar

2 komentar: